Anakku,
yang paling kecil, berdiam diri di pinggir jalan, sambil menyandar ke pagar
pintu rumah tetangga. Dia sedang bermain di jalanan, yang ada di depan rumah.
Ae, itulah panggilannya, anteng berdiam di pinggiran jalan, sambil menyaksikan
kakak, dan teman-temannya yang tengah sibuk bermain. Permainan popular bagi
anak-anak kota di pinggir jalanan. Kalau tidak sepakbola, ya bulutangkis !
Tidak
seperti biasanya. Ae kini tidak pernah merengek-rengek ke kakaknya untuk ikut
bermain. Ae malah terhitung anteng di pinggiran jalan, sambil sesekali
menyandarkan tubuhnya ke pagar rumah. Kemudian sesekali pula, dia membantu
kakak-kakak sepermainannya untuk mengambilkan shuttlecock yang jatuh di
depannya.
Ceria dan dinikmati. Itulah yang tampak di mataku, saat melihat Ae dengan kakak-kakak sepermainannya itu. Dia tidak merengek, nangis, cemburu, atau egois untuk mendapatkan jatah waktu permainannya dari kakak-kakaknya. Sikap seperti itu, kiranya adalah hal baru dari Ae bila berinteraksi dengan kakaknya itu.
Gejala
seperti ini, termasuk gejala social yang unik. Saya ingin menyebutnya,
kemampuan alam bawah sadar Ae untuk melakukan reposisi peran social di tengah
kakak-kakak sepermainannya. Selama ini, jika dia bermain dengan kakak di rumah,
atau dengan kedua orangtuanya, dia akan menempatkan posisi sebagai penguasa.
Segalanya ingin hanya untuk dirinya dan oleh dirinya.
Di tempat permainan itu, Ae bertemu dengan ragam sikap kakak-kaka sepermainan, dengan postur tubuh yang beragam. Saya lebih menekankan aspek postur tubuh, karena bisa jadi, Ae anakku yang baru berusia 7 tahun ini, tidak paham mengenai usia kakak-kakak sepermainannya. Tetapi, Ae pasti tahu dan sadar diri dengan kakak-kakak sepermainannya yang memiliki postur tubuh lebih besar dari dirinya.
Pada
konteks itulah, saya menilai bahwa memberikan kesempatan bermain kepada
anak-anak kita, bukan saya memberi ruang nyata dalam hidup di masyarakat,
tetapi juga memberikan pelajaran tentang posisi social seseorang di tengah
lingkungan orang lain.
Seorang anak yang dibesarkan di lingkungan rumah sendiri, dan kemudian manakala orangtuanya tidak mampu memberikan lingkungan yang sehat, boleh jadi, akan menjadikan anaknya sebagai anak manja dan egois. Sementara, jika anak kita dihadapkan di tengah teman sepermainannya, maka secara tidak langsung, disadari atau tidak, anak kita akan berusaha untuk melakukan reposisi peran dan status sosialnya di tengah lingkungan teman-temannya tersebut. Bila hal itu, tidak dilakukan, bisa jadi, teman-teman yang lainnya, akan menjauhinya dan tidak nyaman untuk bermain bersamanya !
0 comments:
Posting Komentar