Itulah suara gemuruh dan
gertakan ragam benda berjatuhan. Kaca pintu hotel bergetar, seng atap,
berkelabatan sambil tiada hentinya mengalunkan suaranya. ‘rek…rek….prang.!”
Kedua bola mata anakku,
terbelalak. Saat dia melihat, daun dan ranting berterbangan di luar jendela.
Dahan pohon bergoyak dan bahkan
berkoyak. Ujung daun pepohonan, sudah pasrah menerima kenyataan, untuk digoyang
ke sana ke mari oleh gerakan angin tidak ada kompromi dengannya.
Disamping itu, deburan ombak
pantai, terlihat oleh kedua anakku, menganga, seolah ingin melahap
mentah-mentah apapun yang ada di depan matanya. Deburan demi deburan, sudah tak
terhitung jumlahnya. Kelihatan sekali, mereka beriringan, seperti ombak dewasa
yang keluar dari kandangnya. Tidak ada riak yang mengiringi, ombak yang ada,
lebih kelihatan iringan ombak embah-embahnya.
Matahari yang sejatinya harus sudah tenggelam. Sore itu, malah seolah menyisakan kedipannya di ujung barat. Lembayung senja, yang biasa kelihatan indah, di sore itu, malah kelihatannya seram dengan warna memerah. Entah marah, entah menahan kantuknya yang harusnya sudah tiba, tapi terganggu oleh deburan ombak yang anarkhis di sore itu.
“ayah, ada apa ?” pekik anakku
yang besar, “suaranya serem, anginnya besar sekali…” paparnya, lagi, sambil mengurungkan niat membuka pintu
hotel Pangandaran, tempat menginap malam itu.
Kami sangat beruntung. Berada di
lantai cukup tinggi untuk melihat ke sekitar hotel. Berada di lantai V606, sebuah hotel berbintang yang
berdiri tegak kokoh di ujung lokasi wisata Pangandaran. Dari hotel inilah,
bibir pantai Barat Pangandaran netra
sangat jelas, sedangkan pantai timur tidak kurang dari 500 m, atau cukup memakan
waktu kurang dari 15 menit.
Tidak ada imajinasi yang ekstrim dari pikiran anakku. Kedua anakku yang turut serta dalam wisata kali ini, hanya termangu di dalam kamar, sambil menggambarkan ketakutan akan ganasnya alam, yang diwarnai oleh kelakuan pohon, dan gemuruh badai.
Lain cerita dengan anak-anakku.
Imajinasiku, menerawang pada kejadian tsunami waktu lalu. Pangandaran adalah
salah satu lokasi di Indonesia, yang pernah mengalami tsunami. Kejadian alam
yang pernah meluluhlantaikan kawasan wisata Pangandaran. Bahkan, imajinasinya
ini kemudian liar, mengingat kembali pada emta hari yang lalu, saat ada gempa
yang menimpa kawasan Lebak Banten. Pantai Selatan Jawa Barat, dan kini pun,
kami berada di Pantai Selatan Jawa Barat.
Tidak bisa diingkari. Rasa takut itu hadir, dan kemudian berkembang dalam pikiran dan asa. Memang, tidak ada kaitannya antara angin dengan tsunami. Sungguh, tidak ada kaitannya antara tsunami dengan angin. Kecuali bila kita membayangkannya ada badai tornado atau taipun terjadi di Pangandaran, maka bukan hal mustahil, akan ada kejadian menghamburkan air lautan ke kawasan permukaan.
Bayangan inilah yang kemudian
memaksa, nalar spiritual seorang hamba yang terdesak, bergetar, dan melantunkan
doa kepada Penguasa Alam. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, bukan hanya anak-anak yang merasa takut
dengan keadaan itu. Saya sendiri pun merasakan, bahkan, saat bersua dengan
teman-teman serombongan yang malam itu menginap di hotel tersebut, melaporkan
hal yang serupa. Takut tsunami, takut badai, ngeri, takut sesuai yang
menyeramkan terjadi di malam itu.
“aku malam, langsung baca Yasin..” ungkapnya. Entah darimana pikirannya, dia mengaku sebagai muslim, tetapi menganggap bahwa, di malam Jum’at, di kawasan Pangandaran suka terjadi sesuatu yang menyeramkan. Arwah korban Pangandaran, katanya, suka hadir di malam Jum’at, dan hadir dalam bentuk tiupan angin. “karena, itu, saat angin kencang terjadi itu, aku baca yasinan, biar berhenti”, ungkapnya, sambil menerangkan salah satu bab dalam Kitab Suci Umat Islam, yang disebutnya surat Yasin.
Kendati sama-sama muslim, saya
termasuk kurang bisa memahami nalar itu. Lagi pula, malam kejadian itu,
bukanlah malam Jum’at, tetapi malam sabtu. Sehingga penjelasan sahabatku itu,
hanya dianggap angin lalu, mirip dengan imajinasi anakku yang sebelumnya.
Apa yang saya lakukan di malam itu ? lari ? tidak mungkin. Menangis ? buat apa ?! hal pasti yang saya lakukan hal itu, adalah menjaga kesadaran, supaya tidak panic, dengan tetap mengamati keadaan lingkungan sekitar. Walaupun tampak berlebihan, namun, sebagai bentuk kesadaran yang dihadirkan hari itu. Saya merasa tenang. Berada di hotel kokoh, dengan posisi di lantai tertinggi.
Dalam pengalaman yang lalu, ini
upaya penenangan diri, tinggi tsunami di Pangandaran tidak lebih dari 3 m. itu
artinya, ada dibawah lantai tempat tinggal. Kemudian, ketahanan gedung yang
kami tinggali pun, pernah teruji sebelumnya. Bahkan, dengan rasionalisasi yang
konyol seperti itu, saya pribadi berusaha untuk tenang, dan menenangkan kedua
anakku. Sambil waspada, barangkali ada peringatan dari pihak berwenang, saya
pun, memantai perkembangan cuaca melalyi medua elektronik.
“badai angin menerpa pantai selatan, terjadi di Madiun..” itulah running teks, pada sebuah media.Kendati tidak nyambung dengan lokasi kami berdiri, namun informasi ini, menjadi rujukan nalar untuk kami di sore itu.
Seiring waktu. Angin
di luar pun, mulai reda, malam pun kembali sunyi. Saya pun tersenyum, dan bisa
menutup mata dengan tenang, mengisi malam itu dengan lelap.
0 comments:
Posting Komentar