Berjalan. Di atas bukit. Sebuah
bukit yang mendadak ramai dibincangkan orang.
Tidak banyak orang, tetapi juga tidak berarti sepi. Di tempat ini, sudah
banyak yang hadir, dan malah memanfaatkannya sebagai tempat usaha.
Entah sejak kapan, dan entah bukit apa namanya. Saya pun, termasuk orang yang merasa kehilangan arah, dan kesadaran geografik. Tempat ini terasa asing, tetapi tidak bagi anak-anakku. Kedua anakku, yang turut berjalan-jalan di hari itu, merasa nyaman dan merasakan aura kebahagiaan dari bukit tersebut.
“Ayah,..” pekik anakku yang
kecil, “batu apa itu ?” sambil melongo melihat sebuah bongkahan besar di
hadapannya. Kedua anakku, kedapatan merasa betah di lokasi ini, mungkin jadi,
daerah ini, adalah daerah harapannya untuk bisa dikunjungi. Maklum, dalam
beberapa hari sebelumnya, keluarga kami bemaksud untuk berwisata ke daerah
Pangandaran Ciamis.
Sebelum saya menjawab, suara lantang dari belakang mendahuluiku, “wah, de, ini ada peta lokasinya, ayo beli, ayo beli…” ungkap si penjual peta lokasi dari belakang kami. Dia datang nyerintil, sambil menawarkan lembaran kertas ukuran A0, berisi peta situs daerah di maksud.
Sekali lagi, saya tidak tahu, lokasi apa, dan dimana daerah ini. Tetapi menurut si penjual peta situs itu, di daerah ini, terdapat banyak fosil hewan. Diantaranya ada fosil kerbau, rusa, kancil, dan juga kera. Disamping fosil-fosil yang tampak sudah membatu itu, hewan-hewan yang disebutkan tadi pun, masih banyak berkeliaran di samping para penjual peta situs purbakala.
Melihat tawaran dari sang
pedagang itu, anakku boro-boro bernafsu. Dia malah mundur, dan menarik
tanganku, dengan maksud untuk menghindari dari si pedagang tadi. “oke, kita
tidak beli..” ungkapku kepadanya.
Jawaban ini disampaikan dengan maksud untuk menenangkan. Sementara
kakaknya, masih sendirian mondar-mandir ke mari, melihat situasi daerah
tersebut.
Kendati lisan si pedagang sudah membusa menawarkan barangnya, namun produk jualan itu kurang mendapat respon dari anakku. Akhirnya mereka pun menjauh dari kami berdua. Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan menuju arah tertentu, entah ke mana dan di mana posisi itu.
“wah lokasi bukit ini tambah
lebat, “ ungkapku pada kedua anakku.
“iya, yah, kayaknya mau hujan
lagi…” kakaknya memberi komentar, “kita pulang aja yu..”
Ajakan itu, kemudian diiringi oleh upaya membalikkan tubuh mereka masing-masing. Dengan cepat dan gesit, kami bertiga pun, membalikkan arah, menuju pintu masuk, yang beberapa waktu lalu kami tinggalkan.
“eh..tunggu dulu, Pak, “ seorang
ibu-ibu menghadangku. Sontaknya saja berhenti, sementara kedua anakku masih
saja terus berjalan. Tidak hirau dengan suara itu, kedua anakku terus berjalan
menuju pintu masuk, dengan harapan untuk segera bisa keluar dari bukit wisata
tadi.
“Ini ada pesanan yang tadi
tertinggal. Lulur yang sudah dipesan..”
Saya sedikit bingung. Karena merasa tidak pesan. Bahkan, kedua anakku malah pulang cepat dari biasanya. Saya yakin, kalau mereka pesan barang, jajanan atau mainan, pasti dia tidak akan pulang sebelum menggenggamnya sendiri. Tetapi mengapa siang ini, ada kejadian itu. Si Ibu itu pun, langsung membuka kemasan dan mengolah luluran itu,
“nanti saja bu, di rumah, karena
kami buru-buru..” ungkapku.
“Wah…” pikirku, agak repot nih. Masa pulang dari lokasi wisata, harus berwajah belopatan oleh luluran di bukit fosil. Akhirnya, “maaf bu, saya bayar ramuan ini, tetapi mungkin barangnya tidak akan dibawa sekarang, kami buru-buru, dan harus pergi ke tempat yang lain lagi. “ jelasku, sambil memberikan beberapa lembaran uang kertas, dan meninggalkan si penjual luluran fosil siang itu, tetap di bukit itu.“menurut resepnya, ini harus di olah sekarang, di lokasi, biar khasiatnya manjur, ungkapnya lagi.
0 comments:
Posting Komentar