Pernah dengar istilah rentenir ?
Ya, betul. Rentenir adalah sebutan kepada orang yang suka meminjamkan uang, dengan menerapkan anturan pembungaan yang ditentukan sepihak, sehingga menyebabkan orang yang punya utang tercekik, dan terkuras kekayaannya. Ada juga yang menyebutnya dengan istilah tengkulak.
Tapi, pernah terpikirkan gak, ada rentenir sosial yang jauh lebih bahaya, dibandingkan dengan rentenir finansial ?
Dalam tulisan ini, kita bisa sampaikan bahwa, renten uang, biasa dibayar. Andaipun, tidak dengan uang sendiri, bisa pinjam kepada saudara, untuk kemudian digunakan membayar utang yang dipinjam dari lembaga keuangan tidak resmi tadi. Jika, sudah mampu membayarnya, kendati pun, sumber dananya, dari mana-mana, maka selesailah sudah, ketergantungan kita kepada orang lain.
Kondisi ini, akan berbeda, dan sangat berbeda jauh, bila kita mendapatkan utang jasa, yang hasil kerja kerasnya itu, Anda rasakan sampai sekarang. Andai saja, hendak melupakannya, maka, kelakuan Anda akan dijadikan bahan cerita, sebagai sebuah cacat moral, sedangkan, bila Anda tetap pegang teguh, maka Anda akan terus terjebak pada utang tersebut.
Apa itu ?
"ya, itu tadi, utang jasa !!"
Seorang ibu menuturkan. Suaminya dulu, di masa jaya, pernah membantu meloloskan bawahannya untuk bisa menduduki jabatan tertentu. Sang bawahannya itu, dengan kerja keras dan pengorbanan yang tidak kecil, bulak balik, ke rumah sang Ibu tersebut tadi, untuk sekedar mendapat restu dari Bapaknya, dengan maksud bisa mendapat rekomendasi menduduki sebuah jabatan yang tengah di kompetisikan saat itu.
"dulu, dia suka bawa buah-buahan, sayuran segar dari kampung.." ungkap sang Ibu, "buanyak banget... dan tidak sekali...?" tuturnya, disuatu hari, "bahkan, kalau hari-hari tertentu, dia suka memberi angpao...?"
"terus..terus.....gimana?" tanyaku...
"itulah hidup..!" ungkapnya. Tidak seperti waktu butuhnya dulu. Tampak seperti mengemis-ngemis, memberi ini dan itu, dengan harapan untuk bisa mendapat rekomendasi ke sana atau ke situ. Sekarang ini, si Bapaknya sudah tidak ada, lama sudah tiada, orang yang dibantunya itu, kini sudah jadi pejabat, lupa kepada masa lalunya itu....
Memang tidak sederhana. Kita tidak bisa sekedar menyimak penjelasan dari sang Ibu semata. Sayangnya, kisah ini, tidak bisa dikonfirmasi kepada orang yang diceritakannya. Selain, memiliki jarak sosial yang cukup menganga, adalah kurang etis, dan dia pun, akan sulit memberikan jawaban yang 'jujur' terhadap kelakuannya di masa lalu itu.
Namun, untuk sekedar menduga-duga, bisa jadi, si bawahan yang kini menjadi pejabat itu, sudah merasa tidak berutang lagi kepada sang mantan atasannya itu. Mengapa tidak ? bukankah, dulu sudah dibayarnya dengan sejumlah pengorbanan ? bukankah dulu, sang ibu pun tahu, perjuangan dan pengorbanan yang dia lakukan ? lantas mengapa, sang Ibu masih mengatakan hal itu ?
Inilah jawabannya, hutang budi akan lunas dengan jumlah yang setara dengan pinjaman, sementara hutang budi, akan setara dengan kepuasan dari sang pemberinya. Andai tidak pernah merasa puas, maka sang korban akan tereksploitasi sampai hari KIAMAAAAAAAT !
0 comments:
Posting Komentar