Surah Yaasin, mungkin tidak asing bagi sebagian umat Islam. Ayat-ayat dalam surat ini, termasuk juga surah Yaasin secara keseluruhan, umumnya sangat familiar di telinga Umat Islam, selain ayat kursi, atau surah Yusuf dan Surah Maryam. Cukup Panjang, alasan mengapa ayat-aat ini atau surah-surah ini familiar di tengah Masyarakat Muslim. Kita tidak mungkin menjelaskan hal-hal tersebut di sini, di ruang tulis yang singkat ini. Namun hal yang pasti, biasanya, ini sekedar kebiasaannya, di malam-malam istimewa atau malam Jum’at misalnya, umat Islam kadang membaca surah Kahfi, atau Surah Mulk atau Surah Yaasin, atau dua diantara surah-surah yang sudah disebutkan tadi. Hal ini dilakukan, dengan keyakinan untuk mendapatkan berkah bagi pembacanya.
Termasuk pengalaman diri dan pribadi ini. Pada malam itu, membaca surah Yaasin, dan kemudian di tengah pembacaan, saya terhenti saat membaca ayat ini.
لَا ٱلشَّمۡسُ يَنۢبَغِي لَهَآ أَن
تُدۡرِكَ ٱلۡقَمَرَ وَلَا ٱلَّيۡلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِۚ
وَكُلّٞ فِي فَلَكٖ يَسۡبَحُونَ ٤٠ [
يس:40]
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan
bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada
garis edarnya. [Ya Sin:40]
Ayat ini sering ditemukan, dan sering dibaca.
Khususnya saat membaca surah ini, secara keseluruhan. Namun di malam itu,
seketika terhenti saat menelaah makna dibalik ayat ini. Kebetulan dan
bertepatan, penulis sendiri adalah seorang pengajar mata pelajaran Geografi di
jenjang Madrasah Aliyah (SMA). Maka, saat membaca ayat ini, terhenti dan
kemudian sejenak berpikir.
Apa makna “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” ? pada ayat ini, ada dua kata yang memiliki makna menarik untuk dikaji, yakni “daraka” (mencapai) dan “sabaqa” (mendahului).
Bila kita mengamati antrian sesuatu dalam satu
garis edar, maka sampai dimanakan perjalanan daraka, dan sabaqa berada ? andai
saja, matahari dan bulan ada dalam satu garis edar, bagaimanakah posisi daraka
dan sabaqa ?
Pertama, kita dapat menelaahnya, bahwa konsep daraka, mengandung makna ‘mendapatkan’, dan kalau peristiwa itu sudah terjadi, maka semuanya berhenti. Seperti halnya, hidup manusia beriringan dengan kematian. Kalau kematian sudah ‘daraka’ kepada seseorang, maka kehidupannya berhenti. Tidak ada perjalanan kehidupan ini. Kesan ini kita dapatkan dalam beberapa ayat berikut :
أَيۡنَمَا
تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ
وَلَوۡ كُنتُمۡ فِي بُرُوجٖ مُّشَيَّدَةٖۗ وَإِن تُصِبۡهُمۡ حَسَنَةٞ يَقُولُواْ هَٰذِهِۦ
مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ
وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٞ يَقُولُواْ هَٰذِهِۦ مِنۡ عِندِكَۚ قُلۡ كُلّٞ مِّنۡ
عِندِ ٱللَّهِۖ
فَمَالِ هَٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ
لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثٗا ٧٨ [
النساء:78]
Di mana saja kamu berada, kematian akan
mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan
jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi
Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan:
"Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah:
"Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu
(orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? [An
Nisa":78]
۞وَمَن يُهَاجِرۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ
مُرَٰغَمٗا كَثِيرٗا وَسَعَةٗۚ وَمَن يَخۡرُجۡ مِنۢ بَيۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۗ وَكَانَ ٱللَّهُ
غَفُورٗا رَّحِيمٗا ١٠٠ [ النساء:100]
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah,
niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki
yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang
dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An Nisa":100]
Dengan kata lain, kalau kematian sudah mengenai
(daraka) pada seseorang, maka manusia itu tidak bisa melanjutkan lagi
perjalanan hidupnya. Maka karena itu, makna matahari tidak daraka terhadap
bulan, menunjukkan bahwa bulan tidak akan hancur tertabrak, atau terganggu oleh
perjalanan matahari.
Lantas, apa makna dari gerhana bulan atau gerhana matahari ? apakah hal itu merupakan sebuah peristiwa daraka ? ternyata bukan, karena perjalanan bulan dan matahari, setelah gerhana masih terjadi. Bulan kemudian beredar Kembali, demikian pula dengan matahari. Hal ini, mengandung makna bahwa bulan dan matahari bukan dalam satu lintasan, dan mustahil untuk saling ‘menabraknya’ (daraka). Fenomena ini, semakin terang dan menjelaskan bahwa bulan dan matahari memiliki garis edarnya masing-masing, kendati dalam satu kesempatan bisa berada dalam satu konjungsi (satu garis lurus) antar benda angkasa tersebut.
Berdasarkan pertimbangan itu, sangat logis, bila
ayat dalam Surah Yaa Sin ini memberikan inspirasi dan kesan, mengenai benda
angkasa yang memiliki garis edarnya masing-masing. Matahari berada dalam satu
orbit, bulan berada pada satu orbit dan bumi berada dalam orbit yang berbeda.
Sehingga perjalanan dan pergerakannya tidak salah menabrak (daraka). Setiap
benda angkasa, tidak saling mendapati satu dengan yang lainnya. Setiap benda
angkasa, tetap bergerak sesuai dengan garis edarnya.
Secara empiris, makna ayat 40 Surat Yaa Sin ini menunjukkan bahwa bulan dan matahari beredar dalam orbitnya masing-masing, dan tidak akan saling susul atau saling tabarakan. Itulah makna pokok dari kalimat tudrika dalam ayat tersebut.
Berbeda dengan konsep sabaqa. Pada ayat itu, ada
kalimat “wa la lailu sabiqu an-nahar”, (dan tidaklah malam dapat mendahului
siang). Pertanyaan kita, mengapa tidak menggunakan kata tudrika (daraka),
melainkan menggunakan kata sabaqa ? secara umum, kata sabaqa bisa bermakna berlomba, bersaing, atau yang
terdahulu, sebelumnya, lebih dahulu, atau lebih awal.
Jika dicek dalam makna-bahasa, kata perlombaan atau dahulu-mendahului, menunjukkan ada kondisi yang sama, yakni dalam satu lintasan, atau satu barisan, atau satu rangkaian. Karena hanya, dalam posisi seperti itulah, potensi saling dahulu-mendahului, atau persaingan akan terjadi. Dengan kata lain, malam dan siang, merupakan peristiwa yang saling beriringan atau merangkai, berbeda dengan posisi bulan-matahari yang berbeda orbit. Karena itu, gejala atau dinamika pergerakan siang-malam menggunakan kata sabaqa, sedangkan dinamika pergerakan bulan dan matahari menggunakan daraka (tudrika).
Di
ujung ayat, ada kalimat “wa kullu fi falaki yasbahuun” (wa setiap hal itu,
bergerak dalam orbitnya masing-masing). Kata ‘yasbahuun’, bisa pula diartikan
berenang atau berendam, dengan kata lain, gerak benda angkasa, seperti bulan,
matahari, dan pergerakan siang malam itu layaknya renang, bergerak di udara
dalam orbinta masing-masing.
0 comments:
Posting Komentar