Just another free Blogger theme

Kamis, 15 Juni 2023

 Awal Juni, sebuah berita yang tidak diharapkan sebelumnya. Sahabat di tempat kerja, diberitakan Kembali ke haribaan Ilahi, menghadap Allah Swt. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Mungkin bagi sebagian orang, menganggap berita itu sebagai berita biasa. Tersebab, kematian adalah hal biasa, dan sering terjadi dalam kehidupan hari ini. Tetapi, bagi anggota keluarga, atau karib kerabatnya, peristiwa itu, mendatangkan duka yang tiada tara, dan kepedihan yang mendalam.


Bagi umat Islam, peristiwa kematian seseorang, masuk dalam kategori musibah. Makna pokok dari kata ‘mushibab’, yaitu sesuatu yang menimpa kepada seseorang. Ragam hal yang bisa menimpa seseorang.  Ada yang melahirkan derita, dan ada yang melahirkan suka. Sudah tentu, derita dan suka, bergantung pada respon orang terhadap peristiwa tersebut.

Allah Swt berfirman :

﴿ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يُدْرِكْكُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِيْ بُرُوْجٍ مُّشَيَّدَةٍ ۗ وَاِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَّقُوْلُوْا هٰذِهٖ مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۚ وَاِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَّقُوْلُوْا هٰذِهٖ مِنْ عِنْدِكَ ۗ قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۗ فَمَالِ هٰٓؤُلَاۤءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُوْنَ يَفْقَهُوْنَ حَدِيْثًا ٧٨ مَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ ۗ وَاَرْسَلْنٰكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًا ٧٩ ﴾ ( النساۤء/4: 78-79)

Di mana pun kamu berada, kematian akan mendatangimu, meskipun kamu berada dalam benteng yang kukuh. Jika mereka (orang-orang munafik) memperoleh suatu kebaikan, mereka berkata, “Ini dari sisi Allah” dan jika mereka ditimpa suatu keburukan, mereka berkata, “Ini dari engkau (Nabi Muhammad).” Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Mengapa orang-orang itu hampir tidak memahami pembicaraan?

Kebaikan (nikmat) apa pun yang kamu peroleh (berasal) dari Allah, sedangkan keburukan (bencana) apa pun yang menimpamu itu disebabkan oleh (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutus engkau (Nabi Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia. Cukuplah Allah sebagai saksi.  (An-Nisa'/4:78-79)

Merujuk pada ayat tersebut, kita menemukan beberapa inspirasi atau kesan yang sangat kaya.  Inspirasi dan  kesan ini, memiliki nilai praktis dan etis dalam kehidupan sehari-hari ini.

Pertama, nyata dan tegas, bahwa firman Allah Swt membagi ada dua jenis musibah, yakni musibah hasanah (musibatu hasanah) dan musibah sayyiah (musibatu sayyi’ah). Hal ini menggambarkan, bahwa sejatinya manusia adalah manusia. Sebagai makhluk, manusia memiliki potensi untuk naik – turun, potensi baik potensi buruk, ingat dan lupa, sampai paa potensi mampu melakukan kebaikan dan keburukan. Kondisi natural inilah, yang menjadi landasan pokok adanya kemungkinan hadirnya musibatu sayyi’ah dan musibatu hasanah.

Kedua, kematian itu pasti terjadi. Setiap makhluk akan mengalami kematian. Kematian itu, sesuatu yang misteri. Manusia tidak memiliki  pengetahuan yang banyak mengenai kapan, dimana dan karena alasan apa, seseorang bisa meninggal dunia. Seperti yang dialami oleh sahabat kita yang dituturkan di awal ini. Selama ini, yang paling dikhawatirkan adalah sakit diabetnya yang dianggap sudah akut, ternyata, kematian yang menimpanya  malah karena alasan kecelakaan. Inna lillahi wa ina ilaihi raji’un.

Ketiga, pada hakikatnya segala musibah itu berasal dari Allah Swt. Kullu min ‘indillah. Karena itu, setiap ada musibah, seorang muslim  disunnahkan untuk menghadirkan kesadaran tarji’, dengan mengucapkan kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Sebuah Riwayat menerangkan kepada kita  ketika Umar bin Abdul Aziz ditetapkan sebagai Khalifah pada dinasti Bani Umayyah, Jumat, 10 Shafar 99 Hijriyah,  beliau menangis terisak-isak. Umar bin Abdil Aziz memasukkan kepalanya ke dalam dua lututnya dan menangis seraya berucap , 

“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun.”.
Dalam kisah yang lain, ada keterangan bahwa beliau pun berkata, “Demi Allah, sungguh aku tidak meminta urusan ini sedikitpun, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan.”

Kisah itu memberi kesan bahwa kalimat tarji bukan hanya digunakan saat seseorang mendapat musibah sayyi’ah, melainkan juga peristiwa musibatu hasanah, seperti halnya mendapatkan Amanah menjadi seorang khalifah. Alasan mengapa hal itu dilakukan ? karena seluruh kejadian yang menimpa seseorang di dunia ini, adalah atas izin Allah Swt.

Keempat, sumber masalah tidak bisa dialamatkan pada perbuatan orang lain. Al-Qur’an memberikan ilustrasi yang menarik terkait

 
dengan musibah sayyi’ah. Kejadian ini, Qur’an menerangkan bahwa musibah sayyi’ah, tidak bisa dialamatkan pada orang  lain (min ‘indika), melainkan lebih disebabkan karena diri sendiri (fa minafsika). Musibah keburukan  trekadi karena karena ulahmu sendiri.

Kelima, sedikit merenung, dalam firman Allah Swt ini ada dua kalimat yang seakan berbeda. Satu sisi ada kalimat, “kullu min indillah”  makna umumnya semuanya dari sisi Allah, atau atas izin dan sepengetahuan Allah Swt. Tetapi, pada kalimat lain, ada pernyataan “wa ma ashobaka min sayyi’ati faminafsika”, dan keburukan yang menimpamu, itu semua karena ulahmu sendiri. Kedua kalimat ini, seakan berbeda, padahal sejatinya sama dan semakna, bahkan saling menguatkan.

Jika ditelaah lebih lanjut, pada dasarnya apa yang datang dari Allah Swt itu adalah baik, atau untuk  kebaikan. Sebuah peristiwa akan menjadi kebaikan, jika seseorang bisa meresponnya dengan positif. Berprasangka baik, sikap positif atau positive thingking adalah bentuk positif dalam merespon apapun yang terjadi. Bahkan, kebaikan yang menimpa kepada seseorang pun, jika diresponnya salah, akan melahirkan keburukan. Menerima rezeki direspon dengan sombong, menerima Amanah diterima dengan angkuh, malah akan menyebabkan bencana terhadap dirinya sendiri. Karena itu, keburukan yang menimpa seseorang pada dasarnya lebih disebabkan karena cara merespon yang ditunjukkan oleh manusia itu sendiri.

Keenam, kritikan yang tegas dari al-Qur’an adalah la yakaaduna yafqahuna haditsa (tetapi dia tidak paham dengan pembicaraannya). Dalam istilah modernnya, banyak diantara manusia yang tidak paham dengan logika musibah atau logika  peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari ini. Banyak diantara kita, salah memahami logika kejadian. Sebuah kejadian, kerap kali dilihat dari sudut pandang nafsu atau kepentingan pribadi, sehingga melahirkan persepsi yang buruk, dan keliru.

Terakhir,  namun demikian, apapun yang ada dalam kehidupan kita, ukuran kebaikan dan kebenaran, tetap hanya pada Allah Swt. Pada ujung firman Allah Swt, cukuplah Allah Swt yang  menjadi saksi.


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar