Just another free Blogger theme

Minggu, 04 Juni 2023

Memasarkan guru (teacher marketing) atau mungkin lebih santun menggunakan istilah mempromosikan guru. Entahlah. Pilihan kata, bergantung pada selera pembaca.  Bahkan, andai ada yang bermaksud menggunakan istilah  menjual guru pun, tidak masalah. Bisa jadi, seperti yang terkait dengan istilah marketplace guru, ada yang kurang setuju dengan istilah ini. Istilah ini seakan memosisikan guru sebagai 'profesi' yang tidak terhormat. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk hal itu. Karena pokok soalnya itu, bukan di sana. Pokok soal  yang hendak disampaikan itu adalah dalam posisi sebagai lembaga penyelenggara pendidikan,  "bagaimana para lulusannya itu bisa dikenal masyarakat atau pengguna atau user, dan mereka mau menggunakannya". Inilah persoalan pokok yang hendak dibicarakan.

sumber : kompas.com

Kita semua paham, dan sudah paham sejak dulu. Guru adalah produk lulusan dari sebuah lembaga dengan kekhususna program pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Lulusannya, dari tahun ke tahun terus bertambah. Bahkan, selepas adanya kebijakan mengenai sertifikasi profesi-terbuka, yakni lulusan apapun bisa mengikuti seleksi sertifikasi guru (dan dosen), maka kandidat untuk menjadi tenaga pendidik dan kependidikan ini, sangat-sangatlah terbuka.

Sekedar contoh, untuk menjadi guru bahasa Arab, tidak harus lulusan pendidikan Bahasa Arab (PBA). Lulusan dari Sastra Arab pun, bisa melamarnya, dan bisa lulus. Cukup banyak contoh hal serupa ini. Dengan kata lain, lulusan dari program pendidikan tidak memiliki tiket istimewa untuk menjadi tenaga pendidik atau kependidikan. 

Bagaimana kalau sebaliknya, misalnya, lulusan dari program pendidikan, bisakah melamar ke profesi non kependidikan ? misalnya, dari jurusan pendidikan Geografi, bisakah melamar pekerjana ke profesi yang menggeluti ilmu kebumian ? jawabannya, bisa, asal mampu bersaing. Semoga demikian jawabannya.....?!

Terkait hal seperti ini, maka persaingan, atau kompetisi lapangan pendidikan ini semakin ketat dan terbuka. Alih-alih, profesi guru itu semakin bergengsi dan terlindungi, malahan akan semakin terbuka untuk siapa saja, dan dari jurusan apa saja.  Lantas pertanyaannya, bagaimana tanggungjawab lembaga pendidikan penyelenggara program pendidikan dan tenaga kependidikan ? Akankah, situasi seperti ini, dibiarkan apa adanya, dan setiap lulusannya, masuk ke hutan-belantara lapangan kerja untuk bersaing dengan yang lainnya secara terbuka ?

Dalam beberapa waktu terakhir, muncul dibeberapa grup media sosial. Berita mengenai lowongan kerja di sejumlah sekolah/madrasah swasta, baik dalam kota maupun luar kota. Informasi lowongan kerja itu, dilakukan dari  layar ke layar, atau dari mulut ke mulut. Hanya mereka yang menjadi anggota grup, yang bisa mengaksesnya. 

Sekali lagi, pertanyaannya adalah apakah tidak ada, satu sistem yang bisa memberikan pusat informasi mengenai lowongan kerja tenaga kependidikan dan tenaga pendidik ? atau, apakah tidak ada satu sistem yang menyediakan data base mengenai tenaga pendidik profesional siap kerja dan siap inovatif untuk digunakan oleh lembaga pendidikan ? apakah, memang promosi guru dan tenaga pendidikan akan tetap seperti zaman zadul, yakni dari mulut ke mulut, atau dari layar ke layar ?

Pada konteks inilah, sistem pemasaran tenaga pendidikan atau memasarkan guru (teacher marketing), perlu dikemas dengan baik, sehingga sebuah lembaga pendidikan bisa menemukan SDM berkualitas dengan pemegang Kartu Kuning (kartu pencari kerja).  Ide atau gagasan marketplace guru, apakah akan menyelesaikan masalah seperti ini ? 

gimana tanggapannya ?


sumber : https://www.kompasiana.com/momonsudarma


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar