Fenomena unik. Kadang kita membicarakan sesuatu, yang tidak sadar kita lakukan, atau menolak sesuatu yang sedang kita jalani. Kalau kita bicarakan, maka kita akan melakukan penolakan terhadapnya. Tetapi, kalau kita berdiam diri, ternyata banyak hal yang ditolak itu, adalah sesuatu yang sudah dan sedang, bahkan sering dilakukannya. Termasuk dalam hal ini, yaitu ide kapitalisasi pendidikan.
Kesimpulan ini, setidaknya, diungkapkan di sini, selepas menyelesaikan bacaan karya Nanang Martono (2012). Judul buku itu, "Kekerasan Simbolik di Sekolah". Buku ini, diterbitkan sudah lama. Hampir 11 tahun lalu. Namun, baru bisa baca sekarang. Lha mengapa ?
Saya, dipaksa untuk senyum dan tersenyum. Iya, dulu, kalau hendak cari buku, yo, harus pergi ke toko buku, dengan persiapan uang yang cukup. Kebiasaan beli buku pun, bukanlah kebiasaan kebanyakan orang. Teman-teman saat itu, masih terbiasa pinjam ke perpustakaan, kalau tidak ada, pinjam ke teman, kalau tidak, yang sudah paling dengerin penjelasan orang yang sudah baca buku dimaksud. Jika hal itu pun, tidak bisa dilakukan, yang bersabar untuk menunggu kapan waktunya tiba untuk bisa membacanya.
Jika hal itu pun, tak kunjung tiba, ya sudahlah.....
Nah. Dengan pengalaman seperti itu, dan dengan bacaan yang disajikan dalam buku itu, muncul juga pertanyaan, apakah pembiasaan membaca buku, beli buku, dan jual beli adalah bagian dari kapitalisasi pendidikan ? kalau kita bertutur, "kegiatan sehari-hari, aku membaca buku, yang baru saja di beli dari toko buku..", apakah kalimat ini, masuk kategori kekerasan simbolik dalam konteks narasi pendidikan ?
Tepat. Jika dikaitkan dengan kebiasaan dan pembiasaan di kelas-bawah, masyarakat bawah memiliki kebiasaan yang berbeda dengan kebiasaan dari masyarakat kelas-atas. Kemampuan beli buku di toko buku, merupakan kategori kelas atas, sedangkan membeli buku di loakan, masuk kategori kelas-bawah. Sekali lagi. Saya harus menutup telinga lagi. Saat ini pun, menemukan karya Nanang Martono ini, dari situs gratisan dan sudah dalam bentuk pdf.
Ilustari mana yang dipilih, dalam penyusunan naskah atau narasi dalam sebuah buku bacaan (misalnya BSE), selaras dengan analisis Nanang Martono, akan menjadi bagian penguat adanya kekerasan simbolik di dunia pendidikan.
Pada bagian lainnya, kekerasan simbolik di dunia pendidikan itu, ternyata dihinggapi motif atau hasrat kapitalisme yang sudah menggejala di dunia pendidikan. Sayangnya, tidak semua nyadar dengan kondisi itu, dan tidak semua peka terhadap situasi dan kondisi demikian. Sehingga, dunia pendidikan, alih-alih menjadi instrumen perjuangan manusia dalam proses pemanusiaan, yang terjadi malah menjadi instrumen kapitalisasi kelompok borjuis !
0 comments:
Posting Komentar