Memang tidak sekompleks mengawal transisi pemerintahan, baik di level Pemkot, pemprov atau negara. Namun, pengalaman mengawal transisi pemerintahan di level persekolahan, pun, dapat memberikan sebuah ekstase-kebahagiaan intelektual atau bahkan spiritual kepada kita semua, khususnya pecinta demokrasi dalam dunia pendidikan.
Pernyataan ini mungkin terlalu hiperbolik. Tetapi, terbayangkah oleh kita, bila seorang wakil kepala sekolah bisa di pilih oleh warga sekolah ? mungkinkah, kita dapat membayangkan sesuatu yang aneh, baru, atau berbeda, bila kemudian, ada sekolah yang mengembangkan model pemilihan wakil kepala sekolahnya sendiri ?
Bisa jadi ada yang bertanya, mengapa urusan wakil kepala sekolah kok dibicarakan begitu serius ? atau sampai harus di pilih oleh warga sekolah segala ? pertanyaan ini, dapat dijawab oleh nalar dan nurani tenaga pendidik dan kependidikan pada sekolah/madrasah masing-masing. Sudahkah, wakil kepala madrasah/sekolah di lingkunganmu dilakukan secara demokratis, yakni di pilih oleh warga sekolag/madrasah, dan bukan ditetapkan oleh pimpinan, dan bahkan dapat dikatakan menjadi jabatan yang berkelanjutan mendekati asas kekuasaan seumur hidup ?
Iya itu tadi. Mungkin jadi, soalan serupa ini, masuk kategori urusan kecil. Karena ada posisi yang lebih besarnya itu, adalah jabatan kepala sekolah/madrasahnya. Kapankah atau mungkinkah jabatan ini, dipilih serentak oleh keluarga besar sekolah masing-masing ?
Dalam konteks inilah. Saya secara pribadi merasakan bahwa pengalaman kecil, dan amat-sangat kecil ini, memiliki kesan tersendiri bagi pribadi. Sejatinya, hal seperti ini, belumlah signifikans dengan argumentasi mengenai demokrasi pendidikan. Hal ini, seiring senafas dengan masih kuatnya kebiasaan bahwa kepala sekolah/madrasah itu, bukanlah jabatan yang bisa diserahkan kepada warga madrasah, namun lebih diposisikan sebagai bagian penting dari otoritas penjabat di atasnya lagi. Inilah persoalan lain, mengenai hal ini !!!!
Kendati demikian, tetaplah, penulis ingin mengatakan, bahwa pengalaman kali ini, mengawal transisi itu, merupakan sesuatu yang menarik dan indah. Kendati masih merupakan 'atom-kehidupan' di lingkungan sekolah ini, namun memulai tradisi demokrasi pendidikan ini, merupakan titik-kecil dari fondasi pembangunan budaya madrasah/sekolah yang sehat dan matang atau dewasa (maturity). Kesadaran warga sekolah/madrasah, termasuk kesiapan pimpinan dalam menyelenggarakan bentuk demokrasi pendidikan, adalah modal penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang bersih, berwibawa dan berkualitas.
Hari ini, di sekolah/madrasah ini, saya merasa memiliki satu harapan, atau walau mungkin kerlipan sebuah mimpi yang mewujud, terhadap adanya kebangkitan kesadaran kolektif untuk menjaga budaya pendidikan yang baik dan berkualitas. terima kasih kepada semuanya, semoga pilihan apapun selama dalam pemilu itu, tetaplah menjadi wujud tanggungjawab kita terhadap masa depan !
0 comments:
Posting Komentar