Kisah ini mungkin, tidak akan terjadi hari ini. Tetapi, potensial terjadi, bila dikemudian hari, kebijakan Pemerintah mengenai pengolaan tambang diserahkan kepada organisasi keagamaan atau organisasi kemasyarakatan. Bukan prasangka, tetapi, sebuah predisik terhadap ragam kemungkinan, yang bisa tejadi di hari esok.
Lha, kok bisa demikian ?
Jelas, sekali lagi, bila Pemerintah memberikan kewenangan kepada organisasi kemasyarakat (ormas) atau organisasi kepemudaan (OKP), maka perusahaanperusahana di hari eok, akan akan diwarnai oleh ideologi kepemudaan tersebut.
Logika yang ada saat ini, masyarakat kita masih butuh pekerjaan. Lowongan kerja terbatas, sedangkan pencari kerja melimpah. Maka, gejala yang akan terjadi, adalah akan adanyaa persaingan pencari kerja dalam mendapatkan pekerjaannya di masa yang akan datang. Bila sudah demikian adanya, apa yang terjadi pada hari esok ?
Pertama, jika dalam situasi tertentu, sebuah ormas/OKP sudah memiliki satu jenis barang tambang, apa yang akan terjadi pada anggotanya, bila mana mereka itu, belum kerja atau belum mendapatkan pekerjaan yang layak ?
Kedua, bila saja, ada pekerjaan yang layak di perusahaan tambang yang dikelola oleh ormas, kemudian mereka melamar kerja ke perusahaan itu. Pertanyaannya, siapa yang akan diterima ? apa indikator seleksinya, kartu organisasi atau profesinya ? bila profesionya, akankah anggota ormas yang tidak diterima kerja di perusahaan ormas, akan tetap bangga dengan kartu ormasnya ? atau malah kemudian, ketika melamar ke perusahaan ormas lain, dan diterima di tempat lain, akankah loyalitas ke ormasannya akan beralih ke ormas baru ?
Ketiga, bukan hal mustahil. Loyalitas akan ditentukan oleh izin kerja. Untuk hari ini saja, kita masih dengan mudah melihat, elit politik yang menjadi bunglon. Setiap lima tahun sekali ganti partai. Setiap even politik itu pula, sikap kritisnya diubah-ubah sesuai dengan baju yang dipakainya. Dengan mencontoh hal seperti itu, bagaimana jadinya, anggota ormas bila dihadapkan pada pilihan pahit karena ada keputusan pahit dari perusahaan ormasnya sendiri yang berbeda dengan kebutuhannya ?
Keempat, potensial terjadi diskriminasi calon pekerja berbasis pada ormas. Ah, ini logika yang terlalu disederhanakan. Tetapi, mungkin ga, ada perusahaan ormas yang mendahulukan anggota ormas lain, dibanding kadernya sendiri, disaat kadernya itu dianggap kurang kompeten ? jika kadernya dianggap kurang kompeten, akankah sang kader menerima penilaian dan keputusan pengurus ormas dimaksud ?
Sekali lagi, untuk kasus yang satu ini, rasa-rasanya, pengambilan keputusan itu, perlu disikapi dengan hati-hati. Satu sisi, waspadai jangan sampai karpet merah kekuasaan ini, menjadi instrumen pengendali ormas di Indonesia, dan kehadirannya malah menyebabkan blunder sosial di tengah masyarakat !
0 comments:
Posting Komentar