Tulisan ini, menjadi pembanding dari tulisan tetangga sebelah. Disebut pembanding, untuk sekedar menunjukkan, kualitas dan posisi tulisan, sehingga pembaca mampu memberikan penilaian yang objektif dan atau proporsional terhadap berbagai hal yang terjadi, atau setidaknya, terhadap kejadian yang terjadi di sekitar kita.
Pertanyaannya serupa, 'apa yang andai rasakan, manakala mendapat pujian dari tetangga yang lain ?"
"wuih, hebatlah, tulisannya di muat, dan bisa dibaca banyak orang...?" kira-kira itulah, yang terlontar dalam lisan seseorang terhadap diri kita, atau diri kalian, sesaat tulisan itu dimuat di media massa. Sekali lagi, lantas apa yang kalian rasakan dengan situasi dan dalam posisi serupa itu ?
Untuk sekedar berbagi pengalaman. Seperti yang terjadi di pagi ini, saya menulis dengan tema yang sama dengan di sini, "kemenangan yang dicemooh". Ide itu pun, sejatinya bukanlah ide sendiri, meminjam dari pikiran orang, yaitu Jean Baudrillard (2018), karena itu, gagasan itu pun, dapatlah disebut sebagai sebuah gagasan yang tidak orisinal.
Pertama, saat ide itu diapresiasi orang, apakah hal itu merupakan sebuah kemenangan intelektualitas diri dihadapan orang lain ? ah, bukankah, ide itu pun adalah kutipan dari orang lain, dan bukan kreasi diri sendiri, lantas mengapa menjadi sebuah kemenangan yang bisa dibanggakan ?!
Kedua, gagasan itu disusun dan dilontarkan sebagai wujud ekspresi intelektual di era kebebasan berpikir dan berpendapat. Pertanyaannya, benarkah demikian adanya ? bukankah, beberapa saat yang lalu pun, ada notifikasi dari redakturnya, bahwa tulisan itu akan disensor dulu ? bila demikian adanya, adakah makna kebebasan berpikir yang kita kembangkan itu sesuai dengan kepatutannya ? ataukah, secara tidak langsung, diri kita pun, sudah melakukan 'penundukkan hasrat berpikir' sesuai dengan 'hasrat redakturnya" ?
Sekali lagi. Bila kondisi terakhir tadi, benar-benar terjadi, maka kemenangan kita dalam memublikasikan ide, gagasan, atau tulisan, apakah benar-benar wujud dari kemerdekaan berpikir, atau lebih sekedar wujud-ketundukkan pikiran terhadap standar operasional prosedur yang sudah dibuat oleh tim redaksi ? Bila saja, sebagian orang kita tahu, bahwa keberhasilan kita menulis itu, lebih disebabkan karena 'tunduk' pada sensor tim kuasa-redaksi itu, maka kemenangan kita pun, bukanlah kemenangan sejati. Sebagian orang yang tahu dengan kondisi itu, akan memosisikan kemenangan itu sebagai bagian dari kemenangan yang dicemooh. Kemenangan atas ketundukkannya pada penjara sensor pemikiran itu sendiri !!
Terakhir, untuk sekedar menghemat ruang dan waktu, seperti yang juga disinyalir oleh Jean Baudrillard (2018), jangan-jangan ide dan gagasan kita ini pun, lebih merupakan sebuah sandiwara pemikiran. Pemikiran kita ini, bisa jadi, menjadi salah satu contoh dari sikap kritis yang melampaui hakikat kritis. Sikap kritis kita, adalah kritis yang bermuatan-kepentingan meraih keuntungan. Sikap kritis yang dilakukannya, dimaksudkan mengingatkan orang yang merasa kegerahan untuk tidak mengabaikan sikapnya. Pada ujungnya, yang diharapkannya pun, adalah mendapatkan bagian projek dari apa yang mereka kritiknya.
Kritikan tersebut, mirip dengan seorang petani, yang menggoyang-goyang pohon kelapa, dengan maksud dan tujuan untuk bisa menikmati buahnya. Dengan kata lain, sikap kritisnya itu, tidak maksudkan untuk memperbaiki kenyataan, namun untuk mendapatkan kesempatan berbagi keuntungan. Realitas inilah, yang bisa disebut juga segagai gejala hyperkritisisme, yakni kekritisan dengan maksud untuk memperjuangkan kepentingan materi atau kepentingan pragmatisnya.
0 comments:
Posting Komentar