Satu sudut pandang, yang kerap kali banyak diabaikan, atau diterlantarkan, adalah pemahaman kita mengenai keselarasan Geografi dan Teologi. Kita tidak menggunakan istilah "dilupakan", tetapi cukup terabaikan, sehingga pemahaman dan kesadaran ini, menjadi terlantar.
Apa dan mengapa Geografi dan Teologi ?
Disebut terabaikan, karena alasan, bahwa pernyataan dan pandangan ini, yakni adanya keselarasan alam dengan kalam (alam semesta dan al-Qur'an) pada dasarnya, bukan sesuatu yang baru. Dalam dekade sebelumnya kita penah mendengar, istilah al-Qur'an ayat tanziliyah (yang diturunkan), sedangkan alam-semesta adalah ayat kauniyah (yang diciptakan). Atau, ada pula yang mengatakannya, al-Qur'an adalah ayatul qauliyyah (pesan yang disampaikan dalam bentuk perkataan atau kalam), sedangkan alam ayat af'aliyah (pesan dalam bentuk karya Tuhan)
Lantas, mengapa masalah ini, perlu dikaji ulang ? atau mengapa masalah ini, kita ungkap kembali di sini, dan hari ini ?
Jawabannya sederhana, karena kita masih ada dalam kubangan-penalaran klasik dan belum beranjak jauh dari situasi itu. Sekali lagi, ingin disampaikan bahwa kita tidak bermaksud untuk menggugurkan pandangan-pandangan lama, tetapi justru kita bermaksud untuk mengukuhkan pandangan lama, yang masih terabaikan hari ini, dan saat ini. Di sinilah, persoalannya !
Pandangan modern yang kembali mengingatkan kita, adalah Muhammad Syahrur. Seperti yang disampaikan Aseri, Abidin dan Wardani, bahwa Syahrur memandang bahwa pada dasarnya al-Qur'ân (al-Tanzîl) dan alam semesta ini memiliki posisi yang sejajar. Menurutnya, jika Tuhan menciptakan alam semesta, maka kita harus melihatnya pula dalam kitab suci. Artinya, kitab suci ini adalah “kitab tertulis” yang diciptakan oleh Tuhan, dan alam semesta adalah “kitab terbuka” yang diciptakan oleh Tuhan juga. Jadi pesannya pun pasti sama. Lebih lanjut, apabila kedua kitab itu dari Tuhan, maka Tuhan bisa dilihat pada keduanya. Lebih lanjut, menurut Syahrûr, manusia tidak bisa mengabaikan elektronik dalam kehidupan, meskipun tidak didapati konsep elektron dalam Qur‟an, dan ini harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan.
Berdasarkan hal itu, setidaknya merujuk pada kerangka 'ontologi' ini, maka dapat disampaikan beberapa point penting bagi kita hari ini.
Pertama, perlu adanya pengedepanan keyakinan bahwa Alam dan Kalam (al-Qur'an) adalah media pesan ilahi kepada manusia. Melalui alam semesta, Tuhan menunjukkan pesannya melalui hukum-hukum alam yang tampak, dan melalui al-Qur'an, Tuhan menyajikan hukum-hukum ilahiahnya melalui kalam.
Kedua, manusia dalam konteks ini, yang mengimani pemahaman ini, dituntut untuk memiliki persepsi dan pemahaman yang sama, terkait dengan keberadaan alam dan kalam. Manusia dituntut untuk memberikan perlakuan yang sama, baik dalam posisi sumber keilmuan, maupun perlakuan dalam memahaminya.
Ketiga, informasi-faktual yang datang dari alam, merupakan sumber informasi yang terbuka bagi manusia, pun demikian adanya informasi-tesktual dari Kalam (al-Qur'an) adalah sumber informasi terbuka bagi manusia.
Keempat, alam semesta adalah produk-ilahiah, dan interpretasi terhadapmya adalah wilayah budaya atau kewenangan manusia. Pun demikian, dengan al-Qur'an. Al-Qur'an adalah Kalam Ilahi, interpretasi terhadapnya adalah masuk pada wilayah-budaya kemanusiaan.
Kelima, bila saja, dalam kajian kealamsemestaan telah melahirkan ragam ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kajian kealquranan pun, demikian adanya. Terdapat ragam perspektif baik dalam memahami alam semestai maupun al-Qur'an. Fenomena itu, adalah hal natural dalam konteks dinamika penalaran manusia.
Terakhir, merujuk pada pandangan inilah, maka ilmu yang mempelajari alam sebut saja Geografi, dan ilmu mempelajari kalam atau agama, adalah teologi, pada dasarnya memiliki keselarasan dan kesetaraan dalam tujuannya, yakni berusaha untuk memahami pesan Tuhan, untuk dijadikan panduan hidup manusia di dunia ini !

0 comments:
Posting Komentar