Bagi kita, yang baru berkenalan dengan model berpikirnya Muhammad Syahrur, mungkin akan kaget. Setidaknya, itulah yang penulis rasakan. Menelaah beberapa karya, baik yang memanfaatkan metode Syahrur, maupun karya Syahrur sendiri.
Satu diantara, gagasannya itu adalah terkait dengan acuan dan ajuan fondasi pemikirannya, yaitu gagasan mengenai asinonimitas. Dalam pemikiran Syahrur, sebuah kata dalam teks al-Qur’an, memiliki keunikan makna tersendiri, dan bisa dibedakan dari yang lain. Pada karyanya sendiri, menyebut al-Qur’an dengan Tanzil Hakim.
Bagi Abdul Rasyid Rido (2022), keterbelahan pandangan ini, sudah lama terjadi di kalangan Umat Islam. Cendikiawan Muslim klasik, terbelah menjadi dua kelompok, yakni pendukung sinonimitas, dan penolaknya (atau mendukung adanya asinonimitas). Menurut kajiannya, hal itu sudah dapat ditemukan dalam karya Cendikiawan Klasik.
Hal yang ingin disampaikan di sini,
bahwa Muhammad dan Abul Qasim adalah dua kata yang merujuk pada pribadi yang
sama, yaitu suami Siti Khadijah. Muhammad adalah nama diri, sedangkan Abul
Qasim adalah julukannya yang merujuk pada ‘bapaknya si Qasim”. Personalnya,
merujuk pada orang yang sama.
Berdasarkan pemikiran itu, ada beberapa catatan kecil yang perlu disampaikan di sini. Pertama, sinonimitas dan asinonimitas, bukan satu pemisahan yang kaku. Sikap ini dikedepankan, karena berkaitan adanya irisan, dan penekanan yang berbeda. Irisan referensinya, dapat dimaknai sebagai sinomin, tetapi penekanan yang diacukan menjadi asinonim. Artinya, penyebutan Abul Qasim, tidak sedang menjelaskan ‘suami Siti Khadijah’, tetapi sedang menjelaskan mengenai hubungan seseorang dengan keturunannya. Oleh karena itu, hubungan yang diacunya adalah keturunan, dan bukan masalah hubungan perkawinan.
Kedua, melanjutkan gagasan itu, maka
kita menolak adanya gagasan asinonimitas-mutlak, pun demikian terhadap
sinonimitas mutlak. Tidak ada dua kata atau lebih yang memiliki ‘medan makna
yang sama’ dan atau ‘berbeda’.
Ketiga, popularitas sebuah kata, dapat diposisikan sebagai sentra-ide atau gagasan. Misalnya, konsep ‘Allah”, adalah konsep inti. Sedangkan ar-rahman, rabb, malik adalah konsep yang sinonim dengan Allah, dari medan makna tertentu. Dari sini jugalah, konsep al-Qur’an merupakan konsep inti, sedangkan tanzil hakim (istilah Syahrur), atau al-Kitab, al-Furqan, adalah medan makna dengan penekanan yang lainnya.
Keempat, bagaimana kaitannya dengan
sejarah perkembangan bahasa ? bila fakta perkembangan sejarah bahasa atau sejarah
konsep dianggap sebagai fakta yang digunakan untuk menolak sinonimitas, tampaknya
adalah kurang tepat. Justru dengan adanya perkembangan konsep dan bahasa
itulah, menunjukkan adanya konsep kunci yang berkembang menjadi makna luas.
Perluasa makna itulah, yang kita maksudkan dengan medan makna.
Terakhir, beranjak dari itu, untuk mengkonstruk pemikiran ini, penting adanya kesadaran adanya medan-makna dari sebuah kata. Terkait dengan sejarah perkembangan konsep dan bahasa, akan menuntun kita pada pentingnya memahami makna-dasar, dan medan pengembangan makna.
Setuju.
Kita akan berbeda pandangan mengenai konsep inti dari sebuah gejala atau
fenomena. Setidaknya ada dua soal yang terkait dengan hal ini, yaitu (1)
menemukan makna dasar, dan (2) mengungkap makna khusus yang menjadi penekanan,
penguatan, atau pengembangan makna dari makna dasar.
Sekali lagi, kita akan berbeda dengan penentuan konsep dasar. Tetapi, dominasi sebuah kata, dan popularitas kata di tengah Masyarakat, perlu dijadikan acuan historis untuk menentukan konsep dasar. Khusus dalam sebuah teks, maka dominasi penggunaan kata, patut diposisikan sebagai konsep yang memiliki posisi makna dasar. Dengan langkah seperti ini, maka kita, dapat memahami urgensi sinonimitas dan asinonimitas, dalam konteks kebutuhan kita saat memahami teks, termasuk al-Qur’an.
-----
Rujukan
Abdul Rasyid Rido. 2022. Teori Asinonimitas Muhammad Syahrur: Konsep dan Aplikasinya dalam Al-Qur’an. Jogjakarta : Pustaka Egaliter.
Muhammad Syahrur. 2015. Islam dan Iman. Jogjakarta : Ircisod.
0 comments:
Posting Komentar