Posisi sunnah, menjadi bagian penting dalam narasi Muhammad Syahrur. Selama ini, seperti yang disampaikan Syahrur, Sunnah memiliki posisi keilmuan yang sangat tinggi, yakni dijadikan sebagai rujukan ke dua dalam penyusunan hukum Islam (syari’ah). Dampak dari pandangan ini, melahirkan pemikiran yang memosisikan pesan-dari sebuah hadits sebagai ucapan, atau tindakan yang harus diikuti umat Islam.
Muhammad Syahrur menawarkan gagasan lain. Dia mengartikan Sunnah bukan pada teks atau ucapan atau tindakannya, tetapi ‘pesan intelektual’ dibalik itu semua. Menurut Syahrur, Sunnah adalah interpretasi Nabi Muhammad Saw terhadap pesan Ilahi dalam al-Qur’an dalam konteks aktualnya. Oleh karena itu, pesan pokok dari Sunnah itu bukan pada berita yang disajikan dalam hadits-nya, melainkan pada semangat ijtihadnya.
Spirit ijtihad inilah, yang perlu dihidupkan di kalangan umat Islam. Produk Ijtihad itu, sudah ditunjukkan dalam ragam sunnah yang ditampilkan oleh Rasulullah Muhammad Saw, para sahabat, dan juga para ulama seiring perkembangan zaman.
Untuk memudahkan pemahaman ini, kita akan memanfaatkan pandangan Syahrur sebagai landasannya, dan kemudian melanjutkan pemikiran itu ke wilayah yang lebih luas, yakni terkait strukturisasi pemecahan masalah berbasis Syari’ah atau Sunnah Nabi.
Contoh sajian yang bisa kita
gunakan, adalah yang disampaikan Ibnu Katsir, dalam kitabnya. Tafsir Ibnu
Katsir merupakan salah satu kitab yang dipercaya umat Islam, dalam penyajian
tafsir Qur’an dengan pendekatan tafisr bil ma’tsur.
Saat memberikan keterangan makna dari surat al-Baqarah ayat 74, Ibnu Katsir menyampaikan bahwa Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Ketika si terbunuh dipukul dengan salah satu anggota badan sapi betina tersebut, maka si terbunuh duduk, hidup kembali seperti semula. Lalu ditanyakan kepadanya, "Siapakah yang telah membunuhmu?" Ia menjawab, "Anak-anak saudaraku yang telah membunuhku," kemudian ia mati lagi. Selanjutnya anak-anak saudaranya di saat si terbunuh dicabut lagi nyawanya oleh Allah mereka mengatakan, "Demi Allah, kami tidak membunuhnya." Mereka mendustakan perkara yang hak sesudah melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri. Maka Allah berfirman: Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras. (Al-Baqarah: 74).
Sekali lagi, bila kasus itu
dipenggal-penggal pertemanya, dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Penggalan
pertama, terkait dengan masalah, “ Ketika si terbunuh dipukul dengan salah
satu anggota badan sapi betina tersebut, maka si terbunuh duduk, hidup kembali
seperti semula. Lalu ditanyakan kepadanya, "Siapakah yang telah membunuhmu?".
Kemudian penggalan kedua, “Ia menjawab, "Anak-anak saudaraku yang telah
membunuhku," kemudian ia mati lagi. Selanjutnya anak-anak saudaranya di
saat si terbunuh dicabut lagi nyawanya oleh Allah mereka mengatakan, "Demi
Allah, kami tidak membunuhnya." Mereka mendustakan perkara yang hak
sesudah melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri”. Sedangkan penggalan
ketiga, yakni rujukan Qur’an, “Allah berfirman: Kemudian setelah itu hati
kalian menjadi keras. (Al-Baqarah: 74).”.
Dalam konteks ini, al-Qur’an
hadir pada dasarnya, merupakan respon-ilahiah (nilai dan norma) terhadap
masalah yang dihadapi manusia, misalnya dalam konteks itu yakni Masyarakat di
sekitar kehidupan Rasulullah Muhammad Saw. Setelah adanya inspirasi ilahiah itu, kemudian
terformulasikan dalam bentuk ucapan, Tindakan atau sikap Rasulullah Muhammad
Saw.
Dengan kata lain, struktur berpikir Syar’I itu adalah perumusan strategi berbasis masalah. Spirit yang ada didalamnya, yaitu interpretasi dan konstruksi strategi terhadap pemahaman masalah dan nilai normative itu sendiri. Atau meminjam istilah yang digunakan Syahrur, yakni ijtihad. Sajian ini, diharapkan dapat menggenapkan pemahaman kita, mengenai makna reaktualisasi Islam, dalam konteks kehidupan modern. (Momon Sudarma, 2025)
0 comments:
Posting Komentar