Geografi dituntut dan ditantang, untuk tidak sekedar memperhatikan earth
surface dalam arti terrestrial surface, tetapi juga ruang-ruang hidup lainnya,
termasuk permukana lautnya. Pada konteks itulah, pemanfaatan ruang permukana
laut sebagaitempat tinggal, akan menjadi bagian penting dalam mengubah makna
geografi dan juga pengertian ruang-hidup manusia di masa depan.
“masa iya?” itulah, ungkapan kekagetan dari sebagian siswa, saat mendengarkan bahwa aktivitas manusia di masa depan, tidak sekedar terpusat di daratan. Sejumlah tempat tinggal, bukan sekedar tempat istirahat, akan muncul dan berkembang di lautan (juga di udara).
Paparan mengenai masa depan ruang
hidup manusia ini, sesaat ketika menjelaskan mengenai perkembangan geografi masa
kini dan masa depan. Salah satu diantaranya, adalah karena adanya pemanfaatan teknologi, dan teknologi komunikasi dalam merancangan tata ruang kota
masa depan, serta pemanfaatan ilmu perencanaan kota
Bagi masyarakat kita, mungkin tidak akan merasa aneh, bila yang dicontohkan itu adalah masyarakat sungai, kampung laut, pasar terapung atau rumah terapung, sebagaimana yang masih dapat dengan mudah ditemui di beberapa kota di penjuru Indonesia. Untuk sekedar contoh, kita dapat menyebut pasar terapung di Muara Kuin di Banjarmasin, Pasar Terapung Lok Baintan di Sungai Tabuk Banjar. Kemudian, di Negara Thailand, dapat berkunjung ke The Damnoen Saduak Floating Market atau Pasar Terapung Damnoen Saduak di Propinsi Ratchaburi, yang berjarak 110 km sebelah barat kota Bangkok.
Kehadiran pasar terapung dan atau
aktivitas terapung tersebut, adalah fakta empiris di sejumlah Negara, termasuk
di Indonesia. Sayangnya, baik tradisi
maupun teknologi itu, malah dianggap sebagai tradisi dan teknologi tradisional. Orang yang hidup di kampong laut, pasar
terapung atau rumah terapung, dianggapnya sebagai masyarakat berbudaya
tradisional. Sementara, orang yang modern dan kota, adalah mereka yang sudah
menetap, dan tinggal di darat.
Benarkah demikian adanya ?
“ya, mungkin, betul, walaupun
tidak seluruhnya benar.” Pandangan kita terhadap masyarakat yang tinggal di
atas air, atau sungai itu, adalah masyarakat tradisional. Bisa jadi benar. Tetapi,
penilaian seperti itu, tidak seluruhnya
tepat. Karena, trend kita ke depan, malah melahirkan ruang hidup selain di daerat, dengan perlengkapan teknologi
supermodern, dan canggih.
Perhatikan kasus, Floating and Rotating Hotel Tower, Dubai. Hotel dengan teknologi, dan peralatan yang canggih ini berada di lepas Pantai Dubai, Uni Emirat Arab. Uniknya lagi, hotel ini bisa bergerak berputar. Setiap satu menit, menara akan berputar satu derajat. Karena itu, seorang penghuni, akan melihat pemandangan di luarnya secara dinamis dan berubah-ubah
Contoh lainnya, adalah Negeri
tetangga, Malaysia juga memiliki penginapan terapung yang mewah. Dragon Inn
berada di Samporna, Malaysia. Hotel yang juga dikenal dengan nama Samporna
Floating ini dirancang seperti desa di atas air. Bahkan, menurut informasi, dari tempat ini,
terdapat beberapa perjalanan wisata yang bisa memanjakan para pengunjungnya.
Ada beberapa hal penting, yang perlu dicatat, dan dikemukakan di sini. Pertama, terungkap sebuah kesadaran, khususnya dalam konteks pembelajaran waktu itu, bahwa pembelajaran geografi di SMA/MA saat ini, mengartikan ‘earth surface oriented’ sekedar “terrestrial surface oriented”, dan kurang memasukkan marine-surface. Sejumlah bahasan yang dikemukakan, lebih banyak membahas mengenai aktivias manusia di daratan, dengan pernak-perniknya.
Kedua, selama ini pun, peradaban
manusia lebih banyak diartikan sebagai peradaban terrestrial. Sementara peradaban
marine (kelautan) belum menjadi bagian penting dalam membangun peradaban
manusia. Dari waktu ke waktu, peradaban manusia yang dikaji adalah peradaban
manusia di daratan. Bahkan ukuran kualitas keadabannya pun, lebih banyak diacukan pada
peradaban darat. Sehingga tradisi pasar terapung dianggap sebagai tradisi pasar
tradisional, sementara pasar di darat dianggap lebih beradab.
Ketiga, bahkan, peradaban terrestrialnya pun, lebih mengacu pada peradaban yang menetap dan bukan yang bergerak (no maden). Dalam kajian sosiologi antropologi, masyarakat no maden, di anggap sebagai tradisi budaya masa lalu, dan bukan masa kini. Mereka yang menetap, dianggap lebih modern dibandingkan dengan yang berpindah-pindah.
Bila dikaitkan dengan hal ini, maka kecenderungan yang terjadi, sudah mulai berubah. Masyarakat modern,
dan khususnya masyarakat modern, sudah menunjukkan sebagai masyarakat
bertradisi tidak menetap (no maden). Globalisasi merupakan ‘katalis’ dari masyarakat
nomaden modern. Sehingga dengan demikian, orientasi kehidupan manusia modern atau manusia masa depan, sudah tidak sekedar
menetap, tetapi bisa hidup dan berkembang.
Hal uniknya lagi, manusia modern, sudah tidak lagi berpikiran mengenai permukana bumi darat, tetapi sudah memanfaatkan kembali permukaan bumi laut, dan atau masalah ruang-ruang kehidupan yang lebih luas lagi.
Sederhanya, geografi pun, akan
dituntut dan ditantang, untuk tidak sekedar memperhatikan earth surface dalam
arti terrestrial surface, tetapi juga ruang-ruang hidup lainnya, termasuk
permukana lautnya. Pada konteks itulah, pemanfaatan ruang permukana laut
sebagaitempat tinggal, akan menjadi bagian penting dalam mengubah makna
geografi dan juga pengertian ruang-hidup manusia di masa depan.
0 comments:
Posting Komentar