Kasus kenaikan gas 12 kg ini, jelas-jelas memancing kebocoran ‘rahasia’
dalam pemerintahan dan pertamina itu sendiri. Kasus itu, seolah
membocorkan, ‘mekansime kerja antar menteri yang tidak kompak”, dan atau
menggambarkan mengenai lemahnya kuasa pemerintah di hadapan rapat umum
pemegang saham pertamina. Atau memang, ungkapan J. Kristiadi,
pemerintah dipenghujung kekuasaannya sekarang ini, sudah tidak fokus
lagi untuk memperhatikan rakyatnya, sehingga kecolongan dengan hadirnya
kebijakan ini.
Hatta rajasa berujar, bahwa pemerintah tidak bisa mengintervensi prosesi RUPS di Pertamina. Ucapan bijak untuk menunjukkan independensi dan kedemokrasian. Ok. itu tepat, dan memang, sebuah lembaga harusnya mandiri.Presidan bilang, sebagai salah satu pemegang saham dalam pertamina, pemerintah meminta pertamina untuk meninjau kembali kebijakan penaikan harga gas 12 kg. Sikap ini pun, sangat tepat, untuk menunjukkan sikap bahwa pemerintah peduli dan simpati pada kepentingan rakyat.
Pada sisi lain, Pertamina dan pihak Kementerian ESDM harus bersikap bagaimana ?
Bila kita menggunakan keteraturan logika birokrasi, akan sulit memahaminya. Kekagetan Presiden, yang kemudian memaksa untuk mengadakan rapat mendadak mengenai harga gas, sulit dipahami oleh konteks keteraturan birokrasi. Masa iya, pertamina tidak ngobrol dengan ESDM, atau ke Menko ? masa iya, kedua menko tidak ngobrol ke presiden ?tetapi, ada satu jawaban yang memingkinkan bisa memaksa kita untuk bisa memahami masalah ini. Yakni, kuasa RUPS jauh lebih adidaya daripada pemerintah. Ungkapan Hatta Rajasa, dan juga ‘kekagetan’ Presiden adalah bentuk lain dari kuasanya RUPS Pertamina dalam menetapkan harga produk pertamina. Rakyat kecil, bisa berujar, masa sebagai pemegang saham tidak tahu perkembangan kebijakan itu ? atau, jangan-jangan saham pemerintah memang ‘cilik amat’ sehingga tidak kuasa bicara dalam rapat pertamina tersebut ! (tetapi ini pun tidak masuk akal !, karena pertamina adalah BUMN ! lihat http://www.pertamina.com)
Susah juga memahami fenomena drama di awal tahun politik ini. Hanya saja, rasanya ingin mengatakan bahwa kalau gas diartikan komoditas ekonomi, hal ini menggambarkan bahwa kuasanya ekonomi pasar, lebih berjaya dibandingkan dengan kuasanya pemerintah untuk mensejahterakan rakyat. Timbangan ekonomi pasar, jauh lebih kuasa dibandingkan politik pensejahteraan.Kasus kenaikan gas 12 kg ini, jelas-jelas memancing kebocoran ‘rahasia’ dalam pemerintahan dan pertamina itu sendiri. Kasus itu, seolah membocorkan, ‘mekansime kerja antar menteri yang tidak kompak”, dan atau menggambarkan mengenai lemahnya kuasa pemerintah di hadapan rapat umum pemegang saham pertamina. Atau memang, ungkapan J. Kristiadi, pemerintah dipenghujung kekuasaannya sekarang ini, sudah tidak fokus lagi untuk memperhatikan rakyatnya, sehingga kecolongan dengan hadirnya kebijakan ini.
0 comments:
Posting Komentar