Dalam pengetahuan kita selama ini, pada umumnya,
mengartikan geografi sebagai pengetahuan yang empiric. Geografi adalah
mempelajari mengenai fenomena geosfera. Sudah tentu, hal itu akan bersifat
empiris, yaitu mengamati, menceritakan, dan menjelaskan mengenai ragam fenomena
geosfera. Mereka yang memiliki latar belakang geosciences, atau kuat dalam
mengembangkan tradisi pendekatan earth science
dalam pengembangan penalaran geografiknya, akan mudah terlihat sebagai orang
yang berkemampuan berfikir empiris.
Apakah akan menjadi demikian adanya, bila kita menelaah mengenai ragam pemikiran geografi ?Bila berada pada posisi sebagai geograf empiris, kita akan sepakat mengatakan bahwa ‘geografi adalah apa yang para geograf lihat’ (geography is what geographer see). Pada saat melihat banjir, dan kemudian menceritakannya, maka paparan mengenai banjir tersebut, menjadi sebuah pengetahuan geografi. Pada saat kita menelaah anatomi gunung api, dan kemudian memaparkannya, maka paparan tersebut menjadi sebuah paparan geografi.
Kendati demikian, pengetahuan serupa itu, sangat
dangkal. Karena yang terjadi itu, bukan apa yang terlihat saja, tetapi apa yang
bisa dipahami. Dengan kata lain, geografi itu adala apa yang dipahami oleh
manusia (geograf). Setiap orang merasakan, menikmati, dan mengartikan
ruang-tempatnya masing-masing.
Bagi seorang warga India, melihat seekor sapi, akan berbeda makna budayanya dengan mereka yang berasal dari Thailand. Bagi orang Thailand seekor gajah memiliki makna khusus, dan berbeda maknanya dengan apa yang dipahami oleh orang Eropa atau Amerika Serikat. Hal itu terjadi, karena orang India dan orang Thailand memiliki pemaknaan suci (sacral) terhadap jenis binatang tersebut, sementara orang Eropa dan Amerika Serikat, tidak memiliki ‘gairah’ spiritual bila memandang kedua binatang tadi.
Kasus yang kedua tersebut, menunjukkan bahwa pengetahuan geografi itu,
bukan apa yang terlihat, tetapi apa yang dipahami oleh manusia. Setiap orang,
meminjam istilah Maman Abdurrachman (1988) memiliki persepsi yang beragam
mengenai ruang-tempat (space and place).
Pengetahuan, pemahaman dan kesadaran
itulah yang kemudian membedakan
pengetahuan geografi seseorang dengan yang lainnya. Tradisi yang terakhir ini,
akan banyak terungkap dalam kajian geografi budaya (cultural geography).
John Bale, dari Univesitas Aarhus Denmark (1998/2003:1), saat menjelaskan mengenai geografi olahraga, mengatakan bahwa pada umumnya kalangan geografi mengartikan geografi itu, sebagai sesuatu yang bisa dilakukan. “geography is what geographers do”. Hal ini menunjukkan bahwa geografi itu, tidak bersifat psikologis, atau kognitivis. Geografi itu bersifat actual dan factual, terkait dengan respon manusia terhadap lingkungan. Karena itu, geografi itu bukan apa yang dilihat manusia (geograf), atau apa yang maknainya, tetapi apa yang dikerjakan oleh manusia (geograf) terkait dengan ruangnya.
Keragaman respon manusia terhadap ruang-tempat itulah
yang menjadi focus kajian geografi. Bahkan,
kita bisa mengatakan bahwa dengan karakter seperti itulah, yang kemudian, dapat
mengangkat kebedaannya geografi dari disiplin ilmu yang lainnya. Berbeda
dapat dibedakan dari disiplin ilmu lainnya, termasuk disiplin ilmu yang
terhimpun dalam tradisi ilmu bumi (earth
science traditions), yaitu pada konteks penjelasan yang terakhir ini.
Apakah dengan demikian, karakter dari berfikir geografi itu sudah final ? belum. Bagi mereka yang tertarik dengan pandangan sosial, akan menambahkannya, atau membantunya dengan menjelaskan bahwa geografi itu adalah apa yang dikonstruksi masyarakat itu sendiri. Orang sosial mengartikan bahwa pengetahuan adalah sebuah konsyriksi sosial (social construction). Karena itu pula, Geography is a social construction.
Siapa pengkonstruksinya ? masyarakat ilmiah ? atau
masyarakat pada umumnya ?
0 comments:
Posting Komentar