Tidak langsung tampak. Atau, setidaknya, tidak langsung sadar. Tidak semua orang, diantara kita menyadari adanya gejala yang menguat, antara fenomena brain rot, dengan kelakuan kita di bulan suci Ramadhan. Tentunya, tidak semua orang melihat dan merasakan hal serupa ini. Bahkan, bisa jadi, pandangan ini pun, tidak tepat seluruhnya. Lebih merupakan satu opini subjektif dari seseorang yang mengalami kesepian di tengah praktek ramadhan tahun ini.
Namun, bila ditelaah dengan seksama, dan kita melihatnya secara 'kasuistik' satu persatu, untuk kemudian digeneralisasi, mungkin, hubungan antara ketiga hal tersebut, tampak menguat di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita saat ini.
Seperti biasa. Ibadah shalat tarawih, jumlahnya tidak banyak berubah. Masih dikisaran 11- atau 23 rakaat. Kedua pilihan itu, bergantung pada mazhab pemikirannya masing-masing. Dua pola itulah yang selam aini, tumbuhkembang ditengah masyarakat kita. Hal yang membedakan, adalah yang cenderung formalitas,mengejar jmlah, tanpa dipikirkan menegnai ketenangan, ketumakninah, atau kekhusuyuan. Itulah yang tampak dalam beberapa praktek ibadah tarawih, yang seakan berada ditengah-tengah 'perlombaan shalat tarawih'.
Gejala seperti ini, kiranya, dapat disebut sebagai bibit lahirnya pembusukan-peribadahan (worship rot).