Dalam kajian tafsir, ada beberapa perbedaan mencolok yang biasa dilakukan. Perbedaan yang kita maksudkan itu, adalah pengelompokkan paket analisis saat menjelaskan forman Allah Swt, terkait shaum Ramadhan ini.
Imam
Thabari, dalam tafsirnya, tampak konsisten dengan polanya sendiri. Setiap ayat
dibahas satu persatu secara berurutan (tafshili).
Ibnu Katsir, misalnya, memisahkan keempat ayat ini menjadi tiga bagian. Bagian pertamanya, yaitu ayat 183-184, kemudian 185, dan paket analisis terakhirnya yaitu ayat 186 surat Al-Baqarah. Pola ini, serupa dengan yang dilakukan Imam Qurthubi, Quraish Shihab, dalam tafsir al-Misbah, dan Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadirnya.
Berbeda dengan Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Munir, mengelompokkan ayat 183-185 dalam satu paket, kemudian ayat 186-nya digabungkan dengan ayat-ayat yang lainnya. Menarik untuk dikajinya,
Apa
yang menarik dengan perbedaan ini ? tentunya, kita melihat dan merasakan, bahwa pola pengelompokkan itu,
memberikan rangsangan pemikiran pentingnya, melakukan kajian-keberlanjutan
pesan antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Ada tema umum, yang muncul dalam kajian penafsir-penafsir tersebut. Keempat ayat yang dikaji ini, yaitu 183-185, dikaitkan dengan praktek ibadah Ramadhan. Dengan alasan itulah Wahbah az-Zuahili membuat paket kajian keempat ayat tersebut, sementara ayat 186 dari surah Al-Baqarah, terkesan berbeda topik, sehingga dipisahkan dari keempat ayat tersebut.
Pada
ayat 183, Allah Swt memberikan informasi kepada kita, mengenai kewajiban shaum.
Kewajiban shaum ini, diterima umat Islam sekitar tahun ke-2 Hijirah. Tujuannya adalah untuk
meraih peringkat takwa (la’alakum tattaquun).
﴿
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ
عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ١٨٣ ﴾ ( البقرة/2:183)
Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Al-Baqarah/2:183)
Merujuk pada ayat ini, dan posisi inilah yang kerap kali banyak diulas dan diangkat oleh para khatib, terkait tujuan shaum Ramadhan. Allah Swt dengan jelas dan tegas, bahwa tujuan dari ibadah shaum Ramadhan adalah untuk membangun pribadi muslim yang bertaqwa (la’alakum tattaquun). Dengan landasan iman, dan juga amalannya berpuasa di bulan suci Ramadhan, tujuan pertama dan utama adalah menghadirkan diri sebagai pribadi yang bertakwa kepada Allah Swt.
Kedua, ibadah shum Ramadhan pun, mengantarkan
seseorang pada sikap kritis dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam ayat
184, Allah Swt berfirman :
﴿
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ
تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ١٨٤ ﴾ ( البقرة/2:184)
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di
antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib
mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang
lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu)
memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(Al-Baqarah/2:184)
Hal
yang perlu digarisbawahi adalah, “Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahu”. Hal ini menunjukkan
pentingnya (1) pengetahuan mengenai praktek shaum, dan (2) memahami prirotas
ibadah, dan keutamaan ibadah. Dengan kata lain, Islam memberikan kemudahan
kepada orang yang sakit atau sedang bepergiaan untuk tidak berpuasa, dan
menggantinya dengan fidyah. Tetapi, Allah Swt memberikan garis-bawah yang penting, tadi “Siapa dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahu”.
Itulah yang kita sebut, aspek pengetahuan (kognisi), terkait dengan syariat atau hukum ibadah. Pengetahuan yang tepat, seorang muslim dapat memahami keutaman-keutamaan dalam ibadah. Dalam konteks ini pulalah, kita bisa memahami prinsi fiqh prioritas (fiqh aulawiyah), sebagaimana yang disampaikan Yusuf Qardhawy (1996).
Ketiga, bersyukur.
Praktek ibadah shaum Ramadhan, dan juga merupakan kelanjutan dari pribadi
muttaqin, adalah pribadi yang bisa menerima ketentuan Ilahi dan mensyukuri
nikmat yang Allah Swt berikan. Informasi ini, termuat dalam pesan 185, surat
al-Baqarah. Allah Swt berfirman :
﴿
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ
وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ
اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ١٨٥ ﴾ ( البقرة/2:185)
Bulan
Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda
(antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir
(di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib
menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu agar kamu bersyukur. (Al-Baqarah/2:185)
Diantara pesan penting, yang perlu mendapat
penegasan di sini, yakni maksud Allah Swt memberikan panduan kepada muslim.
Dalam ayat itu, diterangkan bahwa “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan
tidak menghendaki kesukaran.”. Dengan kata lain, aturan apapun,
terkait praktek ibadah Ramadhan ini,
pada dasarnya adalah untuk kebaikan manusia. Karena itu, untuk mencapai derajat taqwa ini, diperlukan sikap
Syukur.
Terakhir, yakni tegak lurus terhadap aturan Ilahi
(Rasyid). Kesan ini termuat dalam pesan auyat 186 surat al-Baqarah, yang
bernunyi :
﴿
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ
لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ ١٨٦ ﴾ ( البقرة/2:186)
Apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku
dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa
kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku
agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Al-Baqarah/2: 186).
Merujuk pada empat ayat ini, dapat disimpulkan
bahwa dalam meraih derajat taqwa itu, ada tiga fondasi penting yang perlu
diperkuat, yakni fondasi nalar untuk mengali pengetahuan atau ilmunya, fondasi Syukur untuk menerima
takdir dan ketentuannya, dan fondasi sikap tegak lurus pada aturan sebagaimana
yang ditentukannya
0 comments:
Posting Komentar