Tidak boleh terburu-buru. Itulah kata pertama, yang perlu disampaikan di sini. Hal ini perlu disampaikan dengan maksud, supaya kita, bisa bersama-sama untuk bersikap hati-hati. Bukan hanya, saya sebagai penulis yang perlu hati-hati, tetapi juga para pembaca pun, diharapkan bisa berhati-hati. Tidak terburu-buru.
Ada dua hal yang dimaksud dengan tidak boleh terburu-buru itu. Pertama, tidak boleh terburu-buru membacanya, supaya tidak salah paham. Karena kadang kali, salah-paha, dibawali dari ketijelian kita saat membaca. Akibat ada konsep atau makna yang tak tertangkap, kemudian seeorang bisa saja melangakami salah baca. Oleh karena itu, kita perlu hati-hati saat membacanya.
Pada sisi lain, tidak boleh pula terburu-buru dalam menuangkan gagasan, atau menyimpulkan. Terbatasnya informasi, atau belum lengkapnya data, tetapi kemudian malah ditindaklanjuti dengan 'segera menuangkannya' dalam sebuah kesimpulan, bukan hal mustahil kan melahirkan kesimpulan yang keliru. Artinya, keliru bukan karena kita lemah dalam menalar, namun bisa jadi, karena penyimpulan yang tidak sempurna, karena data yang dimiliki masih t erbastas.
Merujuk pada dua hal tadi, maka jelas bagi kita saat ini, bahwa perlu kehatian-hatian dalam menuangkan sebuah gagasan, terlebih lagi, bila berkaitan dengan ide, gagasan, atau pemahaman yang sudah lama kita pahamai danyakini kebenarannya. Sebuah konsep dengan makna tertentu, dan dia sudah membumi di tengah masyarakat, akan mudah memancing emosional, dan kemudian memancing perdebatan yang tidak produktif. Dengan kata lain, maka kehatia-hatian dalam menyampaikan sebuah gagasan, termasuk menuliskannya di sebuah ruang publik, menjadi sebuah keperluan yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun juga.
Dalam konteks inilah, maka narasi yang akan disampaikan ini, di sini, akan disampaikan secara bertahap, tanpa dimaksudkan untuk 'lebay' dalam penyamapainnya, namun lebih disebabkan untuk menghindari hal-hal yang sudah disampaikan sebelumnya. Dengan cara ini, diharapkan, apa yang akan disampaikan ini, benar-benar memberikan informasi yang penting dan perlu untuk direnungkan bersama.
Judul yang dituliskan ini, sejatinya, terpancing oleh tulisan Kazuo Murakami (1997, 1999 dan 2001). Ketiga buku, dan sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, serta mudah diakses oleh siapapun dan dimanapun, memuat penjelasan yang menarik untuk didiskusikan.
Kesimpulan sederhana, maaf, yang penulis pahamai hari ini, bahwa dalam diri manusia itu ada DNA (Deoxyribonucleic Acid). DNA adalah molekul yang menyimpan informasi genetik yang menentukan sifat-sifat genetik makhluk hidup. Hal yang luar biasanya, menurut hitungan Kazuo Murakami, baru 5 - 10 % sel atau gen yang aktif dan terbuka, dan mendukung karakter manusia. Sisanya, lebih dari 90% masih tertidur. Dari sejumlah yang tertidur itu, belum diketahui banyak mengenai fungsinya, apakah sampah yang tak berguna, atau justru adalah 'potensi' karakter yang laten, yang bisa menyebabkan tumbuhkembangnya manusia secara berragam.
Teori yang dikembangkannya, bahwa dalam gen atau sel itu, yang jumlahnya mencapai 60-70 trilyunan, memiliki sistem otomatis ganda, yakni on/off atau aktif dan tidak aktif. Bila seseorang melakukan aktivitas, maka, secara otomatis akan menghidup/matikan sel atau gen, sesuai dengan karakternya sendiri. Dengan kata lain, pada dasarnya, gen/sel atau DNA itu, mirip catatan-kompleks terkait ciri, karakter atau kualitas, atau menentukan sifat-sifat genetik makhluk hidup.
Bila demikian adanya, mungkinkah DNA itu adalah takdir manusia itu sendiri ? atau, mungkinkah yang disebut lauh mahfudz itu adalah DNA ?
0 comments:
Posting Komentar