“hore....”, teriak sejumlah anak. “Pak, Sudah bel..” ujarnya. Teriakan itu
disampaikan, berkaitan dengan lonceng jam pergantian pelajaran berbunyi.
Sejumlah anak kelihatan sumringah. Kelihatan bahagia. Seolah baru keluar dari
sebuah “tekanan” yang berat dan tak kuasa dipikulnya.
Bukan hal aneh. Tidak unik. Siang itu sebenarnya, hanya memberikan
kesempatan kepada setiap siswa untuk mempresentasikan kembali materi ajar, yang
saat itu masih terpampang pada peta konsep di whiteboard (papan tulis
putih). Tidak aneh-aneh. Tugasnya pun
sangat sederhana, yaitu menjelaskan kembali peta konsep yang sudah buat bersama
sebelumnya.
Whiteboard di depan kelas memang cukup penuh. Penuh dengan konsep pembelajaran hari itu. Kaitan antara konsep
satu dengan konsep lainnya. Tugas siswa,
yaitu secara perorangan menjelaskan kembali peta konsep itu. Secara bergiliran.
Tugas pembelajaran seperti itu, ternyata membuat sejumlah siswa tegang. Ada
juga yang tampak santai, dan bahkan menatapnya dengan tatapan yang ceria. Melihat kondisi seperti itu, dan selepas
anak bersorai kegirangan itu, waktunya saya sebagai pengajar menyampaikan pesan
pembelajaran.
“anakku,” kataku, “terkait dengan pelajaran saat ini, kita dapat melihat
ada empat kelompok manusia...”. Mendengar pengantar itu, secara serempak
anak-anak di kelas terdiam.
Pertama, anak yang sangat beruntung. Orang seperti ini, kita sebut sebagai
orang sukses. Orang itu adalah orang yang sudah siap, dan merasa yakin bisa,
dan kemudia mendapat kesempatan untuk menguji kemampuannya. Itulah kawanmu
tadi, orang yang pintar di kelas, dan kemudian ditunjuk untuk presentasi. Dia
mampu presentasi dengan baik, dan mendapat nilai maksimal dari guru.
Kedua, ada orang yang merugi. Dia adalah orang pintar, mampu, kompetensi,
pede, atau cerdas. Tetapi, kesempatan
yang diberikannya tidak ada. Tidak ada peluang baginya untuk menampilkan
kemampuan itu. Tidak ada peluang yang ditawarkan kepadanya. Maka nasibnya
adalah dia tidak mampu menunjukkan kemampuan dihadapan guru. Orang ini, kendati
pintar atau pandai, tetapi tetap tidak memiliki nilai.
Bisa jadi, para pengangguran itu adalah orang pintar. Buruh kasar pun
adalah orang jenius, tetapi karena mereka tidak mendapatkan kesempatan baik
untuk memamerkan kemampuannya, maka dia
lahir sebagai orang yang merugi, yaitu mendapatkan upah yang tidak layak,
karena orang pada umumnya belum mampu memberikan penilaian yang layak
terhadapnya.
Ketiga, adalah orang beruntung. Di sebut beruntung, karena dia adalah orang
yang belum mampu, belum kompeten, dan belum bisa, tetapi diberi kesempatan
untuk menguji kemampuan oleh para gurunya.
Kendati merasa terpaksa, orang seperti ini akan tahu kelemahan, dan
upaya untuk memperbaikinya. Itulah yang ditunjukkan oleh sebagian diantara
temanmu tadi, kendati merasa tidak mampu, tetapi diberi kesempatan untuk
tampil. Mungkin belum mendapatkan nilai sempurna, tetapi dia tahu apa yang
harus diperbaikinya !
Terakhir, adalah orang yang celaka. Mereka itulah, yang tidak memiliki
kemampuan, dan tidak mendapatkan kesempatan menguji kemampuan itu. Mereka
adalah orang yang terlela dengan kelemahannya, dan merasa senang dengan
kelemahan itu. Celakanya lagi, dia bangga, ketika dirinya tidak mendapatkan
kesempatan untuk uji kemampuan.