Pertanyaan ini
saya ajukan di forum rapat dinas mingguan, sesaat selepas pengesahan
kedudukan sebagai wakil Kepala Humas di MAN 2 Kota
Bandung, tahun periode 2009-2010. Seolah konyol, tetapi tetap menghantui
pikiran. Karena ditempat yang berbeda kadang ada budaya organisasi yang berbeda. Karena
perbedaan budaya organisasi itulah, kemudian berdampak pada perumusan tupoksi
(tugas pokok dan fungsi) yang berbeda. Terkait hal inilah, saya
merasa perlu untuk memberikan pengalaman bathin menjadi seorang wakil kepala
bagian humas.
Sudah tentu, pengalaman tetap pengalaman. Bukan info ilmiah. Apalagi disebut sebagai hasil temuan penelitian. Pengalaman tetap saja sekedar pengalaman. Karakter utama sebuah pengalaman, yaitu ada aura subjektifikasi dari si pengalami itu sendiri. Suasana bathin itu, akan berbeda (walau kadang berbeda kualitas) dengan yang lainnya. Ada yang berbeda sedikit, ada yang berbeda jauh, atau ada juga yang saling melengkapi. Ini akan menjadi satu kenyataan yang tidak bisa dihindarkan.Pengalaman itu, kemudian muncul lagi, menjelang ada pengukuhan jabatan sebagai humas pada periode 2010-2011. Apa itu humas dan untuk apa ada humas. Inilah pertanyaan dasar yang muncul dan berkembang dalam diri.
Ada yang memberikan masukan, bahwa definisi humas itu sudah jelas. Banyak buku tentang komunikasi massa, atau yang langsung membahas masalah humas. Posisi atau pekerjaan ini, merupakan satu bentuk kerja yang bersifat jasa dan banyak dipakai sebuah perusahaan atau instansi. Namun, terkait dengan lembaga pendidikan ini, saya malah merenung kembali mengenai hakikat humas.
Ada beberapa
alasan, mengapa tupoksi (tugas pokok dan fungsi) humas perlu direnungkan
kembali. Pertama, di sekolah pada umumnya, belum popular mengenai pekerjaan-pekerjaan
yang melibatkan komunikasi dengan pihak
luar. Komunikasi yang ada itu, hanya bersifat dinas, dan atau dengan orangtua.
Kedua pekerjaan itu, pada dasarnya sudah banyak dilakukan oleh para pejabat
yang lainnya. Kedua, ada perbedaan budaya organisasi antar lembaga pendidikan,
sehingga berdampak pada adanya perbedaan fungsi humas.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dan juga dipaksa (atau terpaksa) serta keinginan untuk menemukan makna atau fungsi humas, kemudian saya mencoba untuk melakukan improvisasi pemaknaan terhadap konsep itu.
Pertama, humas di sekolah lebih banyak
diartikan sebagai orang yang bertanggungjawab untuk menghadapi wartawan. Di era seperti saat ini, banyak pihak yang
merasa berperan untuk mengawasi dunia pendidikan. Wartawan pun banyak yang
turun. Memang wartawan memiliki kewajiban profesi untuk mengakses informasi
untuk kepentingan public. Namun, pada sisi lain, tidak boleh menutup mata ada
juga oknum wartawan yang nakal. Layanan nonkomersial media elektronik dan media
cetak, yang menyatakan bahwa “wartawan dari media massa ini, tidak
diperkenankan memungut biaya apapun dari sumber
berita”. Hal ini, menunjukkan bahwa kalangan pengusaha media pun, sudah
mengetahui adanya oknum wartawan nakal, yang memanfaatkan tugasnya untuk kepentingan
pribadi.
Kedua, hanya untuk mengemukakan aspirasi sesama. Seorang humas di sekolah, memiliki peran untuk menyampaikan aspirasi dari para guru atau rekan-rekan lainnya, kepada pihak terkait, khususnya ke lembaga. Humas adalah Hanya Untuk Menyampaikan Aspirasi Sesama. Tidak bisa diingkari, peran ini selain strategis tetapi juga politis. Karena, posisi humas berperan sebagai wakil anggota dalam mensikapi berbagai hal yang ada di sekolah/madrasah.
Ketiga, kendati demikian ada juga humas
hanya untuk menyampaikan aspirasi atasan. Pada sifat ketiga ini, humas lebih banyak
memosisikan diri sebagai orang yang menyampaikan aspirasi atasan. Humas
dianggap sebagai juru bicara atasan.
Kalau dalam situasi perjuangan, humas sangat penting untuk menyampaikan aspirasi sesama. Namun dalam sekolah yang memiliki budaya kerja otoriter, humas adalah juru bicara penguasa (kepala sekolah atau Yayasan). Perbedaan peran ini, jelas ada dan bisa ditunjukkan bukti nyatanya. Setidaknya, saya pernah merasakan dan melihat ada humas yang berposisi sebagai juru bicara penguasa, dan penyampai aspirasi sesama. Dua fakta terakhir ini, pernah dirasakan dan pernah ditemui.
Terakhir, ini yang lebih banyak
dirasakan. Menjadi humas itu, sangat berat. Berat. Karena bukan saja
bertanggungjawab terhadap hilir mudiknya informasi yang ada di l embaga itu,
tetapi juga HARUS-nya, menjaga hilir mudiknya informasi dari dalam ke luar,
atau dari luar lembaga ke dalam. Humas pun adalah wakil pimpinan dan wakil
lembaga, bila berkomunikasi dengan pihak lain. ini artinya, humas adalah
‘kamus’ berjalan dari organisasinya masing-masing.
Sayangnya, sekali lagi, peran seperti ini cukup sulit untuk diwujudkan. Bukan hal mustahil, namun membutuhkan kerja keras dan kesungguhan hati dari si pemangku jabatannya, untuk melaksanakan tugas sebagai seorang humas.
0 comments:
Posting Komentar