Pada
kali ini, aku sebagai manajer cinta di sekolah ingin menceritakan satu
peristiwa yang dilaporkan anak-anak kepadaku. Curhatnya telah lama dilakukan,
walau tidak begitu jauh. Kira-kira bulan kelima di tahun 2004.
Kisah ini bermula dari Antropus. Antropus, kali ini terserang penyakit. Sakit yang dirasakannya sudah dua minggu lamanya. Batuk-batuk, demam, sakit kepala, dan flu. Mulanya, penyakitnya tersebut masih ringan. Emang, seperti itulah pengakuananya selama. Sakitnya ringan, gak masalah. Biasa aja. Semua kata itu, sering terlontar dari dirinya, dan atau teman dekatnya.
Hal yang menarik, katanya lagi, Antropus adalah orang
yang paling nekad. Atau mungkin juga disebutnya sebagai orang yang rajin. Di sebut nekad, karena
selama sakitpun, Antropus tetap saja mau
sekolah. Umumnya
generasi muda sekarang, atau kalangan
anak sekolahan di kota ini, jangankan sakit beneran, gak sakit sekalipun, kalau
malas sekolah, suka bikin surat untuk berpura-pura sakit. Di sinilah Antropus
di sebut orang nekad.
Entah sikap seperti itu, dimaksudkannya supaya bisa menarik simpati guru, hingga disebut anak rajin. Ma’lum, ada gossip Antropus senang dengan seorang guru cantik, guru mata pelajaran Akuntansi. Biasa disebut ibu Agan. Guru yang masih gadis, dengan tubuh semampai, tinggi sekitar 165 cm, dan selalu berpenampilan trendy. Oleh karena itu, jika disebut sebagai anak yang rajin, kayaknya kurang tepat juga, sebab dia memang bukan tipe orang seperti itu. Walaupun jika dibandingkan denganku, Antropus masih bisa dibilang rajin. Tetapi, dia bukan orang rajin banget. Habis, seminggu sebelumnya, dia pun ditagih oleh guru agama, Ustadz Anies untuk mengumpulkan tugasnya.
Kurang ajarnya si Antropus ini,
ngakunya sih gak tahu, gak ada tugas, dan sejuta alasan lainnya, dia kemukakan
untuk menghindar dari kemarahan Ustad sekolahku itu. Dalam urusan argumentasi, bisalah diakui.
Bukan soal benernya, teman kita ini mah, lebih mengandalkan keberaniannya saja.
Benar mah nomor seratus,
katanya. Modal pertamanya, “ya..udah
pasti keberanian untuk menjawab tuduhan. Suharto saja, yang sudah pasti
salah, bisa dibela habis-habisan hingga tidak divonis salah. Masa kita yang
tidak korupsi, harus menerima apa adanya tuduhan orang. Gak bisa dong !!!”,
katanya berlagak politisi.
Itulah sifatnya. Dia punya sifat seperti itu. Bahkan, semua orang juga tahu, dia punya prinsip hidup yang unik. Di kamar tidurnya, tertulis kalimat yang sangat besar, dan mudah terbaca oleh siapapun. Bunyi kalimat itu adalah, “DALAM SEDETIK, AKU SANGGUP MEMBUAT SEJUTA ALASAN UNTUK MENGELAK, TAPI, MUNGKIN DALAM SEPULUH TAHUN, AKU TAK SANGGUP MENGAKUI SEBUAH KENYATAAN DAN KEBENARAN”.
Saatku konfirmasi padanya, dia
dengan enak menjawabnya, bahwa ini adalah sifat manusia modern, yang telah
kehilangan kejujuran. Aku belum paham juga terhadap pernyataan ini. Apa dan
kemana arah pembicaraannya. Dengan
jawaban seperti itu, semakin banyak dan menggumpal pertanyaan dalam diriku.
“Antropus, apa yang kau maksudkan itu ? apa kaitannya dengan manusia modern, dan apa pula kaitannya dengan kejujuran ?” berondongku, padanya. Sengaja aku berondong pertanyaan ini, habis, naga-naganya si Antropus ini mau menghindar dan pergi dariku.
Melalui pertanyaanku tersebut,
akhirnya Antropus pun bersedia duduk
di salah satu bangku
yang ada di ruang kelas
3 IPS 3. Di ruang ini, sudah ada Diah siswa rambut panjang, tetapi saat
ini dipotong hingga sebahu.
Antropus menyebutnya sebagai si Gundul. Diah ini, orang cerewet, tapi bikin
gemes setiap anak lelaki. Gosip-gosipnya, si Gundul ini juga naksir sama
Antropus. Cuma sayangnya, Antropus lebih menganggapnya sebagai adik, atau teman
saja. Selain Diah, orang yang ngumpul di sana, yaitu Santi, Yuyun, dan
Jaka. Setelah membereskan buku
pelajarannya di bangku, kemudian Antropus pun berkisah.
0 comments:
Posting Komentar