Bola mata yang
membiru. Bulu mata yang mengkilat gelap. Sorotan mata yang menusuk. Dengan bulu alis yang
lentik menarik. Itulah sepintas aura tatapan dari gadis, usia belia yang kini
menanjak pada tangga ke-3, dalam hitungan puluhan hidupnya. Hingga minggu lalu.
Kegelisahan masih ada dalam dirinya. Bola mata yang bening, tidak menutup
kenyataan warna-dasarnya yang masih sengkarut dengan masa depannya.
“sudah banyak
yang datang ke depan mata...” tuturnya, “tetapi, saya tidak pernah yakin,
dengan kenyataan itu...” ujarnya dengan penuh perasaan.
Pernyataan dari sebuah keraguan itu, kerap muncul dalam diri seorang anak belia. Baik itu bujang maupun lajang. Pria atau perempuan, laki atau wanita, adalah sama-sama kerap merasakan ada keraguan terhadap apa yang sedang dihadapinya. Tidak sedikit mereka sudah menjalin kasih, dan membuka cinta dan rasa, tetapi semua itu hanya sekedar itu. Tidak pernah beranjak ke tahapan lain, dan tidak pernah memiliki kualitas lain. Semua itu, hanya disandarkan pada alasan Cinta dan demi Cinta. Tidak lebih dari itu.
Kejadian ini,
seolah menunjukkan pada akar masalah hidup yang sesungguhnya, yang jauh lebih
mendasar dari persoalan pernikahan. Akar masalah yang kita maksudkan itu,
adalah kebutuhan untuk membedakan antara mencintai dan menikahi. Masalah inilah,
yang kerap kali menjadi masalah besar dalam hidup. Karena sejatinya, mencintai itu, tidak harus menikahi.
Seorang ibu, mencintai anaknya. Di setiap harinya, dia melayani, mendidik, merawat dan membina anak-anak. Dengan penuh ketulusan dan kecintaan yang dimilikinya, sang ibu lakukan itu semua tanpa ada pamrih setitik pun. Hingga akhir hayatnya, seorang ibu tetap mencintai sang anak. Semua itu, dilakukan dengan penuh rasa cinta, tetapi tanpa pernah berfikir untuk menikahi anaknya.
Seorang guru,
dapat saja mencintai siswa di kelasnya. Siswa dikelas yang pintar, yang kurang
pintar, yang cantik, yang tampan, yang kurang tampan, adalah siswa yang
dicintai sang guru. Dengan penuh dedikasi dan loyalitas yang tinggi, sesuai
dengan tugas profesinya sebagai seorang pendidik, guru tersebut, menjalankan
tugas dengan penuh cinta, baik itu cinta terhadap profesinya, maupun cinta
terhadap siswa-siswinya. Tetapi, itu pun, tidak pernah (pada umumnya) ada perasaan
untuk menikahinya ! Mencintai tidak
berarti harus menikahi.
Kesalahan kita selama ini, kadang ada salah tafsir terhadap masalah ini. Banyak anak muda kita saat ini, yang mengalami kehancuran diri, kehaluran wibawa, karena kesalahan dalam mentafsirkan kata cinta ini. Selepas mereka bercinta dengan orang yang selama ini dicintainya, terngiang dalam pikirannya, tampak dalam bola matanya, bahwa mereka itu akan menikahinya. Padahal, itu belum tentu !
Bukti nyata. Banyak
orang yang mencintai kita, tetapi kemudian dia malah meninggalkan kita, demi
kepentingan tertentu ! mereka adalah orang yang pernah mencintai kita, tetapi
tidak sampai menikahi kita. Mencintai
memang tidak harus menikahi.
Menikahi
itu, Harus Mencintai
Berbeda dengan hal pertama tadi, mencintai tidak berarti (akan) menikahi, tetapi menikahi harus mencintai. Tidak mungkin kita menikah dengan orang yang tidak kita cintai. Adalah sangat celaka, bila kita menikahi dengan orang yang tidak kita cintai. Sungguh merugi, bila kita hidup, menikah, berkeluarga dengan orang yang tidak kita cintaia, atau tidak mencintai kita. Mencintai tidak harus menikahi, tetapi menikahi harus mencintai.
Jodoh kita,
yang asli itu, adalah orang yang mencintai kita. Ini kunci utamanya. Kita akan
menikah dengan orang yang mencintai kita. Selain itu, kita akan mengalami
kegagalan dalam berumah tangga.
Memang, kelak ada empat kemungkinan karakter sebuah keluarga. Pertama, ada yang menikah, karena tidak saling mencintai. Perkawinan itu terjadi, karena dijodohkan, atau dipaksakan oleh pihak luar, khususnya keluarga. Perkawinan ini rentan. Rentan konflik, dan rentak perceraian. Kedua, perkawinan terjadi, dengan orang yang tidak kita cintai. Walaupun mungkin, orang itu mencintai kita. Dengan kesabaran pasangan hidupnya, keluarga ini masih memiliki peluang bisa membangun keluarga yang rukun. Ketiga, yaitu keluarga yang terbangun karena kita mencintainya, walaupun mungkin dia tidak mencintai kita. Dibandingkan dengan jenis kedua, keluarga ini lebih rentan konflik. Karena orang itu, akan mudah membuat alasan, dan cari-cari alasan untuk menghindari kita. Kendati demikian, dengan binaan dan perhatian yang tulus dari kita, masih ada peluang menjadi keluarga yang baik. Terakhir, adalah perkawainan yang terjadi, karena dua insan hadir dengan saling mencintai. Tipe yang terakhir ini, merupakan harapan, impian, dan cita-cita dari setiap orang.
Proses Tunangan |
Kita tidak akan
mengulas tipe keempat. Biarkan tipe keempat itu, hadir dengan sendirinya, dan
bicara dengan sendirinya terhadap diri kita. Tipe keempat itu, sudah tidak
membutuhkan lagi penjelasan dari kita, tidak perlu dukungan lagi dari kita. Tipe
keempat itu, sudah hadir dengan sendiri, dan akan berbicara kepada orang lain
dengan sendirinya.
Kemudian, untuk tipe yang pertama, perkawinan yang lahir dari sebuah ketiadaan cinta, antar orang yang menikahnya, sudah bukan zamannya lagi. Amat sulit dipahami, bila ada keluarga, orangtua, atau pihak tertentu, yang memaksakan kehendak kepada kita, untuk menjalani proses perkawinan, sementara kedua mempelainya itu sendiri, tidak saling mencintai !
Persoalan yang
krusial, dan kiranya, masih sering kali muncul dalam kehidupan sekarang ini,
adalah tipe kedua dan ketiga. Dalam wacana kita, mencintai tidak harus
menikahi, tetapi menikahi harus mencintai. Tetapi, bagaimana jika rasa cinta
itu baru hadir pada sebelah pihak ?
0 comments:
Posting Komentar