Just another free Blogger theme

Rabu, 10 April 2013



Bola mata yang membiru. Bulu mata yang mengkilat gelap. Sorotan  mata yang menusuk. Dengan bulu alis yang lentik menarik. Itulah sepintas aura tatapan dari gadis, usia belia yang kini menanjak pada tangga ke-3, dalam hitungan puluhan hidupnya. Hingga minggu lalu. Kegelisahan masih ada dalam dirinya. Bola mata yang bening, tidak menutup kenyataan warna-dasarnya yang masih sengkarut dengan masa depannya.

“sudah banyak yang datang ke depan mata...” tuturnya, “tetapi, saya tidak pernah yakin, dengan kenyataan itu...” ujarnya dengan penuh perasaan.

Pernyataan dari sebuah keraguan itu, kerap muncul dalam diri seorang anak belia. Baik itu  bujang maupun lajang. Pria atau perempuan, laki atau wanita, adalah sama-sama kerap merasakan ada keraguan terhadap apa yang sedang dihadapinya. Tidak sedikit mereka sudah menjalin kasih, dan membuka cinta dan rasa, tetapi semua itu hanya sekedar itu. Tidak pernah beranjak ke tahapan lain, dan tidak pernah memiliki kualitas lain. Semua itu, hanya disandarkan pada alasan Cinta dan demi Cinta. Tidak lebih dari itu.

Kejadian ini, seolah menunjukkan pada akar masalah hidup yang sesungguhnya, yang jauh lebih mendasar dari persoalan pernikahan. Akar masalah yang kita maksudkan itu, adalah kebutuhan untuk membedakan antara mencintai dan menikahi. Masalah inilah, yang kerap kali menjadi masalah besar dalam hidup. Karena sejatinya,  mencintai itu, tidak harus menikahi.

Seorang ibu, mencintai anaknya. Di setiap harinya, dia melayani, mendidik, merawat dan membina anak-anak. Dengan penuh ketulusan dan kecintaan yang dimilikinya, sang ibu lakukan itu semua tanpa ada pamrih setitik pun. Hingga akhir hayatnya, seorang ibu tetap mencintai sang anak. Semua itu, dilakukan dengan penuh rasa cinta, tetapi tanpa pernah berfikir untuk menikahi anaknya.

Seorang guru, dapat saja mencintai siswa di kelasnya. Siswa dikelas yang pintar, yang kurang pintar, yang cantik, yang tampan, yang kurang tampan, adalah siswa yang dicintai sang guru. Dengan penuh dedikasi dan loyalitas yang tinggi, sesuai dengan tugas profesinya sebagai seorang pendidik, guru tersebut, menjalankan tugas dengan penuh cinta, baik itu cinta terhadap profesinya, maupun cinta terhadap siswa-siswinya. Tetapi, itu pun, tidak pernah (pada umumnya) ada perasaan untuk menikahinya !  Mencintai tidak berarti harus menikahi.

Kesalahan kita selama ini, kadang ada salah tafsir terhadap masalah ini. Banyak anak muda kita saat ini, yang mengalami kehancuran diri, kehaluran wibawa, karena kesalahan dalam mentafsirkan kata cinta ini. Selepas mereka bercinta dengan orang yang selama ini dicintainya, terngiang dalam pikirannya, tampak dalam bola matanya, bahwa mereka itu akan menikahinya. Padahal, itu belum tentu !

Bukti nyata. Banyak orang yang mencintai kita, tetapi kemudian dia malah meninggalkan kita, demi kepentingan tertentu ! mereka adalah orang yang pernah mencintai kita, tetapi tidak sampai menikahi kita.  Mencintai memang tidak harus menikahi.

Menikahi itu, Harus Mencintai

Berbeda dengan hal pertama tadi, mencintai tidak berarti (akan) menikahi, tetapi menikahi harus mencintai. Tidak mungkin kita menikah dengan orang yang tidak kita cintai. Adalah sangat celaka, bila kita menikahi dengan orang yang tidak kita cintai. Sungguh merugi, bila kita hidup, menikah, berkeluarga dengan orang yang tidak kita cintaia, atau tidak mencintai kita. Mencintai tidak harus menikahi, tetapi menikahi harus mencintai.

Jodoh kita, yang asli itu, adalah orang yang mencintai kita. Ini kunci utamanya. Kita akan menikah dengan orang yang mencintai kita. Selain itu, kita akan mengalami kegagalan dalam berumah tangga.

Memang, kelak ada empat kemungkinan karakter sebuah keluarga. Pertama, ada yang menikah, karena tidak saling mencintai. Perkawinan itu terjadi, karena dijodohkan, atau dipaksakan oleh pihak luar, khususnya keluarga. Perkawinan ini rentan. Rentan konflik, dan rentak perceraian.  Kedua,  perkawinan terjadi, dengan orang yang tidak kita cintai. Walaupun mungkin, orang itu mencintai kita.  Dengan kesabaran pasangan hidupnya, keluarga ini  masih memiliki peluang bisa membangun keluarga yang  rukun. Ketiga, yaitu keluarga yang terbangun karena kita mencintainya, walaupun mungkin dia tidak mencintai kita. Dibandingkan dengan jenis kedua, keluarga ini lebih rentan konflik. Karena orang itu, akan mudah membuat alasan, dan cari-cari alasan untuk menghindari kita. Kendati demikian, dengan binaan dan perhatian yang tulus dari kita, masih ada peluang menjadi keluarga yang baik. Terakhir, adalah perkawainan yang terjadi, karena dua insan hadir dengan saling mencintai. Tipe yang terakhir ini, merupakan harapan, impian, dan cita-cita dari setiap orang.
Proses Tunangan

Kita tidak akan mengulas tipe keempat. Biarkan tipe keempat itu, hadir dengan sendirinya, dan bicara dengan sendirinya terhadap diri kita. Tipe keempat itu, sudah tidak membutuhkan lagi penjelasan dari kita, tidak perlu dukungan lagi dari kita. Tipe keempat itu, sudah hadir dengan sendiri, dan akan berbicara kepada orang lain dengan sendirinya. 

Kemudian, untuk tipe yang pertama,  perkawinan yang lahir dari sebuah ketiadaan cinta, antar orang yang menikahnya, sudah bukan zamannya lagi. Amat sulit dipahami, bila ada keluarga, orangtua, atau pihak tertentu, yang memaksakan kehendak kepada kita, untuk menjalani proses perkawinan, sementara kedua mempelainya itu sendiri, tidak saling mencintai !

Persoalan yang krusial, dan kiranya, masih sering kali muncul dalam kehidupan sekarang ini, adalah tipe kedua dan ketiga. Dalam wacana kita, mencintai tidak harus menikahi, tetapi menikahi harus mencintai. Tetapi, bagaimana jika rasa cinta itu baru hadir pada sebelah pihak ?
Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar