Pada
umumnya, bersekolah itu lebih diartikan sebagai prosedur alamiah baik sebagai anak atau warga
negara. Sekolah lebih banyak diartikan sebagai jembatan hidup yang
wajib dilalui oleh setiap orang.
Padahal, sejatinya, bersekolah atau berpendidikan itu adalah bagian dari
rencana hidup. Di masa depan kita ingin apa ?
Dalam keseharianku, sering mendengar pertanyaan, “Ke mana saya harus sekolah ?” , atau dalam versi yang lain, jika yang menyampaikannya itu adalah orangtua, mereka berkata, “harus ke mana, menyekolahkan anak saya ?”. Pertanyan standar, dan kerap kali menghantui banyak orang, baik di awal tahun, atau peralihan tahun, baik itu di jenjang pendidikan dasar menengah ataupun perguruan tinggi.
Sekitar bulan Juli 2013, dan biasanya memang pada bulan-bulan ini, beberapa
orang tetangga bertandang ke rumah hanya
sekedar bertanya hal serupa. Selepas,
mereka bersusah payah memberikan bimbingan dan arahan di rumahnya, kini
saatnya mereka menentukan sekolah lanjutan bagi putra-putrinya. Sejumlah orangtua, seringkali bingung dan
dibingungkan dengan pertanyaan seperti itu.
Sering dihadapakan pada pertanyaan itu, dan sesering itu pula, saya malah mengajukan pertanyaan balik kepada mereka. “rencana mau apa ?”, atau dalam versi yang lain, “sekolah manapun, bisa dipilih, hal yang penting, adala kita memiliki rencana masa depan selepas sekola di tempat itu ?”
Sebagai seorang tenaga pendidik, yang setiap hari berkecimpung dengan
sejumlah anak, memiliki banyak
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, ‘rencana selepas sekolah mau apa ?”
tetapi, banyak diantara mereka pun, yang kurang memiliki keyakinan teguh
mengenai rencana masa depannya.
Mereka sekolah, hanya sebuah prosedur, atau kewajiban formal yang harus dilalui sebagai seorang anak dihadapan orangtuanya. Mereka lebih banyak menganggap bahwa sekolah itu adalah prosedur resmi yang harus dijalani, sebagai warga negara. Tidak ada yang lain. Di setiap harinya, mereka berangkat dari rumah, duduk dalam kelas, dan pulang sekolah menuju rumah atau tempat lainnya yang dia suka.
Di sinilah, kita melihat ada kesalahpahaman, atau kekurangtepatan dalam
mengartikan pendidikan atau bersekolah. Pada umumnya, atau terindikasi, ada
yang mengartikan sekolah itu adalah
prosedur alamiah baik sebagai anak atau warga negara. Sekolah lebih
banyak diartikan sebagai jembatan hidup yang wajib dilalui oleh setiap
orang. Padahal, sejatinya, bersekolah
atau berpendidikan itu adalah bagian dari perencanaan hidup.
Apapun sekolahnya, dan dimanapun kita belajarnya, sejatinya harus diposisikan sebagai bagian dari rencana hidup. “mau kemana setelah sekolah itu ?” Terlalu mahal, baik dari segi waktu dan biaya, bila selepas sekolah, kemudian kita tidak mampu memaksimalkan fungsi ijazah atau pengetahuan tersebut.
“sayang, dia itu adalah seorang sarjana, tetapi hanya di rumah saja,
mendampingi anak dan melayani
suaminya...?” tutur seseorang dalam memotret seorang ibu rumah tangga yang
berijazah sarjana, tetapi tidak bekerja di luar rumah. Ibu rumah tangga itu,
sewaktu kuliah dikenal cerdas, tetapi selepas berijazah dan bersuami, malah
sekedar menjadi ibu rumah tangga saja.
0 comments:
Posting Komentar