Hari minggu. Untuk akhir bulan ini. Anak-anakku memohon untuk makan di luar. Seperti biasa. Si bungsu, kendati masih berusia 4 tahunan, soal makan dan makanan, begitu sangat ‘liar’. Apapun yang kelihatan di media elektronik, senantiasa mau mencobanya. Ingin itulah, pengen inilah. Pergi ke warung lah, atau pergi mall. Rintihan untuk bisa membeli dan mencicipinya, begitu sangat kental dibandingkan dengan kakaknya, Iqbal.
Secara pribadi, tidak memiliki
jadwal khusus. Tidak ada jadwal khusus untuk makan bersama. Tidak seperti orang
lain, ada jadwal sebulan sekali atau dua bulan sekali, ada jadwal makan bersama
anggota keluarga di luar rumah. Saya tidak memiliki jadwal serupa itu. Karena itu, permintaan bisa makan di luar,
lebih merupakan spontanitas.
Berbeda dengan di tempat kerja. Di MAS Mualimin Manbaul Huda, kita bisa menyaksikan agenda makan bersama seluruh Diwan Asatidz (Dewan Guru) ada jadwalnya. Setiap pukul 09.30-10.00 WIB, mereka dijadwalkan makan bersama, di dapur Mbah Haji, pemilik Yayasan Pesantren tersebut. Sewaktu di SMA PGRI 1 Kota Bandung, saat menjadi guru honorer di sana, jadwal makan bersama, yaitu pada rehat kedua, sekitar pukul 12.00-13.00 WIB. Setiap guru memiliki kesempatan makan, yang disediakan oleh pihak sekolah.
Peristiwa atau praktek makan
bersama, baik di rumah maupun di luar rumah, ternyata banyak menarik perhatian,
khususnya bagi kalangan sosiolog dan geografi manusia. Setidaknya itulah yang
terjadi pada Peter Jackson (geografi manusia), Graham Smith (Ilmu Sosial), Joseph
Burridge (sosiolog) and Margo Barker, Takeda Hiroko (studi kejepangan).[1]
Makan dan makanan merupakan media manajemen hidup dalam sebuah keluarga. Dalam praktek makan dan komoditas makanan itu, ‘terbangun’ mekanisme complain dan produksi cinta. Seorang anak dapat menunjukkan sikap apresiatif kepada seorang ibu melalui kesungguhannya menikmati makanan, dan seorang ibu dapat menunjukkan cinta dan kasih sayangnya melalui makanan dan makan bersama.
Bahkan, bila ada sebuah
kekurangan atau ketidaksetujuan, seorang anak dapat mengajukan komplainnya
kepada sang ibu, dan kemudian di hari kemudiannya, akan terjadi perubahan menu
makan dan atau gaya hidup makan. Perubahan tempat, gaya, menu dan juga suasana
makan, memberikan nuansa emosional dan keintiman tertentu bagi keluarganya.
Khusus untuk praktek makan bersama di luar (bukan di meja makan sendiri), masyarakat Sunda, kerap menyebutnya dengan istilah “botram”. Praktek ini, atau praktek botram yang populer itu adalah botram di arena terbuka, seperti di sawah, lapangan, kebun atau sejenisnya.
Hal itulah, yang mungkin jadi, maksud dari Peter Jackson sebagai editor buku tersebut tadi, dengan tegas melihat bahwa perubahan social di tengah keluarga, dapat diawali dari perubahan pola makan dan manajemen makan. Karena pada dasarnya, setiap perilaku seseorang akan berkaitan dengan respon seseorang terhadap lingkungan dan ruangnya sendiri.
0 comments:
Posting Komentar