Just another free Blogger theme

Kamis, 01 Maret 2018


Hasil gambar untuk bernalar Mungkin karena sedang "sensi", ocehan apapun di sekitar kita, terasa menusuk, dan sakit. Sakitnya tuh disini ! perih jenderal ! terlalu !

Itulah beberapa jeritan hati, yang entah kenapa muncul di dalam batin ini. Perasaan itu muncul sesaat, selepas seorang instruktur menegaskan bahwa, "ada guru, di tengah kita, gela S-3, tapi taraf berpikir C-1". Sebutan C-1 ini, merupakan kelas berpikir paling rendah dalam taksonomi Bloom.
Sekali lagi, mungkin karena lagi sensi jiwa ini. Ungkapan itu sesungguhnya tidak mengenai diri ini. Karena boro-boro bisa kuliah sampai program doktoral, untuk sekedar makan pun harus nunggu dulu gajian dari negara. Oleh karena itu, ungkapan itu, sesungguhnya bukan terhadap diri ini. Namun, penyebutan ada guru yang masih C-1 itulah, yang menyayat perasaan.
Terlebih lagi, kemudian, diantara peserta ada yang melempar guyonan. "ijazah saja, S-2, tapi tidak produktif. Itu juga adalah C-1.." ungkap yang lainnya, diimbuhi dengan senyum yang dilempar kepada rekan-rekan yang lainnya.
Guyonan yang saling lempar dalam ruangan itu, sesungguhnya, hanya sebuah guyonan. Tetapi, tetap saja, dalam posisi jiwa yang sensitif, guyonan itu terasa serius, dan bahkan meyayat hati. Hingga, diri ini, mengajukan pertanyaan, "lantas, aku ini, berada di posisi mana ? akankah, diri ini, berada pada posisi sebagaimana yang dikisahkan oleh sang instruktur tersebut ?
Terbayang sudah oleh kita bersama. Saat, kemampuan bernalar seorang tenaga pendidik itu, masih terkelasifikasikan minim, maka bagaimana kemampuan putra-putrinya ?! terbayanglah sudah oleh kita, jika penalaran seorang tenaga pendidik itu terbatas, maka bagaimana budaya berpikirnya di dalam kelas ? jika kemampuan bernalar seorang tenaga pendidik masuk dalam kategori lower order thinking, akankah hadir budaya berpikir higher order thinking di dalam kelas ?
Inilah, pertanyaan yang kemudian mendorong jiwa ini, merasa prihatin dan perih. Saat ingat terhadap masalah ini, pedihlah yang dirasakan. Sekali lagi, andai guru saja, tidak memiliki budaya bernalar, bagaimana kita bisa mengajarkan nalar tingkat tinggi kepada anak-anak kita ? Sementara, kita semua yakin, dari nalar cerdas seorang guru, bisa melahirkan anak didik yang luar biasa !
Hal mendasarnya, semua itu, bukanlah bawaan sejak lahir, melainkan hadir dari sebuah pembiasaan. Pembiasaan untuk bernalar !!!
Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar