Menarik, bila kita memperhatikan keberanian Presiden Prabowo dalam hari-hari pertama, di tahun kedua ini. Setelah sebelumnya, memberikan Abolisi kepada Tom Lembong, kemudian Hasto Kristiyanto mendapatkan Amnesti, dan minggu ini, kita mendapat informasi bahwa Ira Puspadewi mendapat rehabilitasi.
Pertanyaannya sudah tentu, adalah "apa itu, mengapa itu, dan bagaimana implikasi lanjutan hukumnya dalam konteks penegakkan hukum ?" Masalah inilah, kiranya, hal-hal yang perlu dinarasikan bersama. Hal ini penting kita lakukan, sehingga jangan sampai, ada kesalahpahaman diantara kita, atau prasangka buruk terhadapnya.
Perlu disampaikan dulu, mengenai makna-hukum dari sejumlah konsep, yang menjadi hak prerogatif Presiden, yakni grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitas.
Grasi diberikan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan dari MA. Jika seseorang memohon grasi kepada Presiden dan dikabulkan, maka Presiden mengampuni perbuatan yang bersangkutan. Kesalahan orang yang bersangkutan tetap ada, namun hukuman pidananya saja yang dihilangkan.
Amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang yang diberikan amnesti dihapuskan. Dengan kata lain, sifat kesalahan dari orang yang diberikan amnesti juga hilang. Amnesti diberikan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan dari MA serta DPR dan dapat diberikan tanpa pengajuan permohonan terlebih dahulu.
Rehabilitasi yang dapat diartikan sebagai tindakan pemenuhan hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Kemudian, abolisi dapat diartikan sebagai penghapusan proses hukum seseorang yang sedang berjalan. Abolisi diberikan kepada terpidana perorangan dan diberikan ketika proses pengadilan sedang atau baru akan berlangsung. Presiden harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pemberian abolisi.
Kempat hal tersebut, merupakan kewenangan Presiden. Kewenangan itu, menjadi hak prerogatif Presiden, dalam menimbang, dan memutuskan digunakan atau tidaknya, hak-hak prerogatif tersebut. Namun demikian, pertanyaannya adalah "mengapa hal itu terjadi ?"
Bila memperhatikan kejadian-kejadian yang ada hari ini, kita bisa melihat ada beberapa kondisi faktual dan empirik, yang mendorong Presiden memanfaatkan hak prerogatifnya tersebut. Mohon untuk dipahami bersama, kita tidak sedang membincangkan sisi hukum atau alasan prosedural legal formal, digunakannya hak prerogatif Presiden tersebut. Argumentasi kita hari ini, lebih mengacu pada fenomena sosial-politik-hukum yang terjadi saat ini.
Pertama, adanya hipotesis tarikan politik yang kuat. Hipotesis ini, kemudian diperkuat, dengan pecahnya pandangan di media sosial. Publik, setidaknya merujuk di media sosial, memunculkan dua kelompok pembelajaran, yakni yang pro dan kontrak. Saat kelompok kontra ini menguat, maka kemudian tekanan politik dari kelompok penekan yang kuat (pressure group), baik dari sisi organisasi politik ataupun kelompok formal lainnya, menggeliat.
Kedua, diduga sebagai pesanan politik. Sebagaimana yang juga muncul di media sosial, bukan tarikan politik penguasa, melainkan ada hipotesis adanya pesanan politik. Pesanan politik itu, entah dari penguasa, mantan penguasan, atau oligarki, atau kelompok berkuasa lainnya. Publik sangat mengenali, bagaimana kasus impor gula yang melibatkan Tom Lembong atau Anies Baswedan dengan formula-e, kedua kasus ini ramai dibicarakan publik dengan dugaan sekedar pesanan pesanan politik. Karena dugaan itu, dan kemudian desakan netizen pula, kasus Tom Lembong ini berujung, keluarnya abolisi.
Terakhir, desakan netizen. Kendati mungkin, bisa dikatakan bahwa desakan netizen itu, bisa saja direkayasa atau tidak, namun dalam kasus-kasus terakhir, prinsip no viral no justice, seakan-akan akan terus mendapat pembenaran.
Kritik dan koreksi, terhadap proses hukum dan vonis hukum yang menyasar elit politik ini (khususnya sesuai dengan kasus di atas), ternyata mendapat perhatian dan reaksi dari masyarakat. Pada ujungnya, sebagaimana yang kita saksikan bersama, orang-orang dimaksud itu, mendapatkan haknya sebagai warga negara dari Presiden, yakni abolisi, amnesti dan rehabilitasi.
Terkait hal ini, muncul pertanyaan, dengan ranumnya pemanfaatan hak prerogatif presiden ini, menunjukkan ada sesuatu yang salah di lembaga hukum negara kita ? jika proses, atau vonis dari lembaga peradilan, kemudian malah berujung dibatalkan hak prerogatif Presiden itu, menunjukkan keputusan hukum itu, sudah tepat atau masih ada ruang hampa-nalar hukum ?
Publik masih menunggu, bagaimana pemerintah menuntaskan kasus Harun Masiku. kasus Sylvester Matutina, atau kasus lain, yang sudah menjadi perbincangan publik, namun belum ada kepastian hukum.
atau justru, apakah diterapkannya hak prerogatif presiden dalam hukum ini, menjadi preseden buruk bagi proses penegakkan hukum di negara kita ? Lha, mengapa hipotesis ini, bisa muncul ? setidaknya, publik bisa bertanya, jika ada gejala dikit-dikit Presiden menganulir keputusan hukum, melalui hak prerogatifnya, hal itu menunjukkan bahwa keputusan hukum di negara kita, masih menganga 'sisi-gelap' yang kontroversial dan lemah, sehingga sangat mudah dikoreksi oleh Presiden.
Bila komentar kita mengafirmasi pandangan terakhir tadi, maka hal pokok itu bukan menerapkan hak prerogarif Presiden, melainkan pembenahan lembaga penegakan hukum di Indonesia. Karena dengan objektivitas dan kemandirian lembaga pengadilan itu, maka keputusan hukumnya, akan berwibawa, baik dihadapan publik maupun Presiden !!!! bila demikian adanya, potensi kontroversialnya rendah, dan peluang di veto oleh hak prerogatif Presidennya menjadi terbatas.
Kita semua paham, nilai dan fungsi adanya hak prerogatif Presiden itu, satu diantara manfaatnya, adalah untuk memberikan pengampunan kepada tahanan politik, dan bukan pada tahanan pidana. Namun demikian, pada sisi terakhir, akankah, kita melihat terpidana yang lain, khususnya kasus yang diderita oleh rakyat kecil, dan bukan elit politik, akankah mendapatkan hak-hak politik-hukum serupa ini? ataukah, hak politik-hukum itu, hanya miliki kaum elit saja ?

0 comments:
Posting Komentar