Just another free Blogger theme

Senin, 24 November 2025

Informasi minggu ini, kasus Ira Puspadewi menjadi viral. Dirut ASDP (Angkutan Sungai, Darat dan Penyebrangan) itu, divonis penjara 4,5 tahun, dengan alasan merugikan negara sekitar 1,25 trilyun, atau di berita yang lainnya, yakni menguntungkan  PT Jembatan Nasional.



Uniknya, dalam pemberitaan terkait kasus ini, di beberapa media sosial, ada narasi lain yang sangat berbeda, bahkan nyaris ekstrim. Marilah kita diskusi, bukan dalam konteks pemikiran hukum, namun dalam konteks pemikiran rakyat biasa.

Pertama,  kasus ini disebut merugikan negara 1,25 Trilyun, tetapi ada fakta bahwa perusahaan dibawah kepemimpinannya ini memiliki kenaikan keuntungan tertinggi dalam sejarah pengelolaan ASDP di Indonesia. Mantan Menteri BUMN sendiri, Erick Tohir menyebut "ASDP sebagai operator fery terbesar di Dunia". Tentunya, adu-hadapan argumentasi ini, sulit untuk bisa dipahami sepintas lalu. 

Bila melihat catatan kinerja keuangan di atas, ASDP di era Ira Puspadewi,  mencatatkan laba tertinggi sepanjang sejarah berdirinya perusahaan, yakni pada tahun 2022 saat ASDP membukukan laba Rp 585,17 miliar. Rekor ini malah di kemudian harinya,  kembali terlampaui pada tahun 2023, di mana laba perusahaan kembali mencapai rekor tertinggi yakni mencapai Rp 636,54 miliar. Bila demikian adanya, saat perusahaan itu bangkit dan bahkan  memberikan keuntungan pada negara, lantas pada sisi mana yang disebut sebagai merugikan negaranya itu ?  

Kedua, kasus ini disebut sebagai masalah tindakan korupsi. Korupsi, dalam bahasa orang awam adalah memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi,  kelompok atau golongan sendiri. Setidaknya begitulah definisi sederhananya. Menurut salah satu Hakimnya, Hakim Sunoto,  bahwa Ira Puspadewi tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

Sekali lagi, bila kedua hal itu ditarik pada logik berpikirnya, maka kita dihadapkan pada definisi 'kesalahan' yang tidak biasa, yakni kesalahan pejabat, bukan karena korupsi yang merugikan secara material, namun ada isi lain, yang dijadikan standar acuan 'kesalahannya'. Kesalahan yang dimaksud, yakni dipersepsi oleh hakim, "tidak memberikan keuntungan pribadi, tetapi menguntungkan orang  lain". Lantas, siapa yang disebut menguntungkan orang lain itu ? multiinterpretasi, dan bisa jadi, definisi karet.

Terakhir atau ketiga, hal yang ingin disampaikan di sini, melalui kasus Dirut ASDP ini, rakyat  Indonesia disajikan drama-hukum yang prosedural, dan bukan substansial. Orang yang menolong kecelakaan pun, akan didenda pidana, bila kemudian saat dibawanya, menyebabkan korban itu meninggal dunia. Alasannya, karena membawa korban dengan cara tidak pakai tandu yang aman, dan nyaman bagi korban.

Lebih mengerikan lagi, menolong orang yang kecelakaan, kemudian memberinya air mineral. Tidak tahunya, air mineral itu, menyebabkan korban alergi.  Korban pulih dan sehat, tetapi terkenal alergi. Pihak korban atau keluarga, menuntut penolong itu, karena menolong korban yang menyebabkan dia terkena alergi minuman air mineral.  

wah, jadi bingung ya ? iya, betul. Kasus serupa itu, kiranya semakna dengan kasus di atas. Penggunaan dalil hukum yang kaku, dan beku, menyebabkan kehilangan nalar substansi dalam penerapan hukum itu sendiri.

Narasi ini, ingin menegaskan kepada pembaca hari ini, melalui kasus ini, dikhawatirkan memiliki implikasi praktis yang sangat panjang, dan tak terukur. Salah satu implikasi yang potensial memprihatikan masa depan kita  ini, adalah 'minimnya kreativitas' dari pejabat kita untuk memajukan kondisi ekonomi Indonesia.

Bukan hal mustahil, hari ini, kita membanggakan Menteri Keuangan, Purbaya Sadewa.  Tetapi, bila dilihat dari sisi politik, bila saja ada seseorang yang tersinggung, atau kepentingan bisnisnya teriris  oleh kebijakannya, dia bisa memanfaatkan hukum-kaku dan  beku, guna mengkriminalisasi pejabat kreatif yang menganggu kenyamanan bisnisnya.

Cukup mengerikan, Istilah Danielda, saat keberanian berinovasi malah berujung penjara. Bahkan, lebih jauh dari itu, kejadian kali ini, akan menjadi preseden buruk, yang bisa membunuh orang kreatif mati kutu di lembaga pemerintahan, dan lebih memilih ritual-birokratik, sebagai buruh penguasa atau atasannya.

Kita semua, khususnya rakyat kecil, berharap, bahwa penegakkan hukum itu hendaknya murni hukum, bahkan politik hukumnya adalah  hukum-humanis pancasila, bukan hukum yang dikendalikan oleh kepentingan politik !!!!!  Kejadian ini, menghantarkan kita pada kewaswasan jurang kehidupan kita, karena ada penegakkan hukum yang logis, malah berujung tragis !

 Intinya, bagaimana menurut pembaca ?

 

Categories: ,


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar