"Pak, kami dari pihak sekolah, tidak sekedar menanamkan keterampilan tetapi juga sikap..!" ujar seorang pembimbing Praktek Kerja Lapangan (PKL). Mendengar itu, sebagai orangtua siswa, tentunya, bisa mendengar dan menyimak penjelasan mengenai maksud dan tujuan itu. Kemudian, dia pun memaparkan kondisi karakter generasi milenial.
"dalam pengalaman kami, lulusan dari sekolah kita ini, kalau bekerja, sering menjadi kutu loncat. Tidak betahan. Baru kerja sebulan, sudah resign. Kemudian di tempat barunya, pun demikian lagi. Kasusnya, ternyata bukan dilakukan oleh satu orang, tetapi beberapa orang sudah dilaporkan oleh pihak perusahaan..." paparnya, dihadapan kami, dan anak kami saat itu.
Tentunya, sebagai orangtua, yang tidak mengamati hal itu, tidak bisa membantah data atau informasi dari guru pembimbing PKL tersebut. Secara pribadi, saya menerima saja informasi itu, walaupun dalam pikiran ini, tetap saja terbang melayang, ke wilayah yang lebih krusial dari itu. Mengapa demikian ? apakah hal ini, menjadi karakter anak milenial itu sendiri ?
Bagi seorang tenaga pendidik, dan juga orangtua, atau sebagai orangtua yang menjadi pendidik, atau pun, sekedar sebelahpihak sajapun, sejatinya, kondisi ini perlu dijadikan bahan renungan bersama. Iya, setidaknya, menjadi informasi penting dalam mengoreksi, mengapresiasi atau menyusun ulang (reknstruksi) praktek layanan pendidikan hari ini ke depan.
Dari pengalaman dan obrolan itu, setidaknya ada lima hal penting, yang bisa disampaikan di sini, dan dijadikan bahan pembicaraan kita.
Pertama, komunikasi antara orangtua, lembaga pendidikan, dan masyarakat, menjadi sebuah kebutuhan yang mendasar. Setiap komponen itu, sejatinya memiliki kewajiban untuk saling berbagi informasi, sehingga proses layanan pendidikan dapat dilakukan secara sempurna. Terbayang indah, bila pihak masyarakat atau industri menyampaikan harapannya, orangtua pun demikian adanya, dan pihak sekolah bisa meresponnya dengan baik. sementara, bila ada hambatan atau dinding pemisah komunikasi, maka kebutuhan yang ada di masyarakat atau lapangan kerja, sulit dicerna orangtua dan pihak sekolah, akibatnya sangat jelas, lulusan pendidikan tidak siap-menghadapi kebutuhan dan tuntutan zaman.
Kedua, keluhan jika mau disebut demikian, atau informasi yang kita dapatkan dari pembimbing PKL itu, merupakan alarm bagi dunia pendidikan, bahwa dinamika sosial itu sangat kasat mata, dan realitasnya sudah berubah. Karakter lulusan sudah berubah, dan kebutuhan lapangan kerja pun berubah. Realitas perubahan ini, hendaknya dapat dicermati, direspon atau disikapi secara bijak oleh kita semua pihak. Informasi yang didapatkan itu, menunjukkan bahwa ada 'kekecewaan lapangan' terhadap kualitas lulusan dunia pendidikan saat ini.
Ketiga, kekecewaan lapangan, bisa jadi bervariasi. Namun merujuk pada kasus ini, ditemukan informasi bahwa lapangan kerja, tidak menutup mata terkait kualitas kompetensi lulusan pendidikan, namun kecewa dengan karakter atau mentalitas lulusan pendidikan. Kompetensi lulusan yang tidak diimbangi dengan karakter kerja, selain dapat merugikan lulusan pendidikan itu sendiri, dapat menggangu 'stabilitas' budaya kerja pada sebuah perusahaan.
Keempat, menuntut adanya penyeimbangan antara pengkondisian dan penguatan kompetensi dengan karakter atau kepribadian kerja pada lulusan pendidikan. Perusahaan atau lapangan kerja, tidak sekedar butuh orang terampil, tetapi butuh pula sikap loyal dan komitmen dari para pegawainya.
Beberapa hari sebelum naskah ini ditulis, sempat bertemua dengan beberapa alumni yang menjadi manajer perusahaan software. Dia menuturkan bahwa di tempat kerjanya dulu, ada beberapa rekan satu sekolah dulu. Teman-temannya itu, banyak yang pintar dan ahli, namun, rendah dalam komitmen. Jika dia sudah merasa mampu dan besar, sangat mudah untuk berpindah-orientasi dan komitmennya. Sehingga, dia merasakan sangat sulit untuk mengembangkan usahanya itu. Sebab, saat sudah mulai berkembang, projeknya malah dibajak oleh teman sendiri, dari jalur belakang dengan kliennya. Biasa, triknya sangat klasik, "menawarkan harga lebih murah, yang penting beralih kemitraan'. Itulah yang disebut dengan kompetensi tanpa komitmen, ternyata bisa menjadi benih menjadikan seseorang menjadi penjahat-ekonomi dalam sebuah perusahaan.
Terakhir, narasi ini, bermaksud untuk menyampaikan alarm karakter generasi masa kini. Semua pihak, bukan hanya dunia pendidikan dan orangtua, tetapi juga masyarakat dan sektor usaha, bahwa efek dari perubahan drastis di era milenial ini, sedang hadir dihadapan kita, satu generasi dengan karakter generasi yang belum kita pahami bersama. termasuk dalam komitmen kerjanya. Hal yang baru dipahami, hanya kalimat yang sederhana, bahwa anak milenial itu, sangat mudah menjadi kutu loncat dalam pekerjaannya !!!
apakah ini benar, atau sekedar kasuistik ? silakan di komentari..

0 comments:
Posting Komentar