Tetaplah berdoa. Sebuah ungkapan, yang sarat dengan nilai teologis. Sifatnya normatif Hanya mereka yang beragama, yang akan tersentuh, dan atau merasa dikuatkan pemahaman dan keyakinannya dengan kalimat serupa itu. Orang-orang yang dekat dengan agama, atau berhasrat akan nilai-nilai spiritual tinggi, akan tergugah dengan ucapan, "tetaplah berdoa', atau "jangan lelah berdoa".
Bagi mereka yang agak abai dengan kosa kata agama, atau malah mungkin jauh, dari agama, akan sedikit tak menghiraukan ucapan itu. Bagi mereka, kata-kata serupa itu, dianggapnya sebagai sebuah kata-kata kosong, bila tidak dibarengi dengan aksi. Aksi nyata, adalah kunci dalam memahami dan mewujudkan sesuai yang diharapkan.
Benarkah demikian adanya ?
Rasanya, akan menjadi aneh. Jika kalangan rasional, atau manusia yang mengaku modern, tidak mengakui keberadaan doa, sebagai bagian dari dinamika-batin atau amalan hati manusia. Tulisan ini, meyakini bahwa doa, adalah gejolak batin yang tidak bisa dipisahkan dari peradaban dan keadaban manusia.
Pertama, jika doa diartikan sebagai sebuah harapan, maka mungkinkah manusia tidak pernah memiliki harapan, dan tidak pernah mengajukan harapan ? apapun atau siapapun subjek penggantungannya, adakah manusia yang tidak memiliki harapan ?
Tak terbantahkan. Manusia adalah hewan-yang-berpengharapan. Manusia adalah hewan yang dipenuhi dengan hasrat. Manusia adalah hewan yang memiliki cita dan impian. Bukti atau indikasi nyata dari karakter ini, yakni mewujudkan cita, hasrat, pengharapan, dan impian itu, adalah dalam bentuk ungkapan doa.