Just another free Blogger theme

Rabu, 03 Desember 2025

Bencana alam, kembali terjadi di beberapa titik di Indonesia. Kepedihan, kesedihan, duka dan respon keprihatinan menyeruak ke permukaan. Sebagai bagian dari kebersamaan, kepedulian dan juga simpati, mulailah mengalir dukungan baik doa, maupun material dan finansial ke wilayah bencana. Gerakan sosial ini, muncul dan berkembang, sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan, yang kerap kali hadir dari lubuh kebangsaan, negeri tercinta ini.


Namun, dibalik itu semua, sekali lagi, muncul lagi pertanyaan, mengapa bencana alam serupa ini, kembali terjadi dan secara berulang terjadi lagi ?

Pertama, ada yang menggunakan pendekatan fisis-determinisme, atau dampak alamiah dari kondisi lingkungan. Kita sebut demikian, sebagai konsep yang mengilustrasikan pandangan orang terkait dengan kewajarannya bencana alam dari kondisi lingkungan alam itu sendiri. Mereka memandang bahwa banjir adalah gejala alam bagi wilayah bercurah hujan tinggi, longsor adalah alamiah untuk daerah yang memiliki kemiringan lereng curam. Tidak ada yang disalahkan, kecuali menerima secara fatalis terhadap kondisi alam yang ada.

Karakter pandangan fisis-determnisme ini, cenderung fatalistik, dan cenderung konservatif mengenai alam. Alam diyakininya, harus dibiarkan apa adanya, dan tidak boleh ada kreasi atau sentuhan inovasi dari manusia. Pandangan inilah, yang mungkin oleh sebagian orang disebutnya fundamentalisme ekologi, atau wahabisme ekologi. Maksudnya, anutan pemikirannya tradisinal, dan penjaga keaslian-tradisi atau kealamiahan. Mereka sangat perhatian mengenai pentingnya menjaga 'kealamiah, kenaturalan, atau tradisionalisme'. 

Apakah, hal itu, tidak ada kaitannya dengan pola pengelolaan lahan ?

Kedua, kritik mulai bermunculan dari kelompok posibilisme, yang memandang bahwa bencana alam adalah buah dari kekeliruan manusia dalam pengelolaan lingkungan. Bukan karena kondisi alam, tetapi karena kesalahan manusia dalam mengelola lingkungan. Alam lestari sekalipun, andai hutannya dibuka, lahan dibiarkan gundul, serta tidak ada pengelolaan yang tepat, maka alam lestari menjadi kritis. Di situasi krisis ekologi itulah, potensi bencana menjadi aktual.

Kelompok ini memandang bencana adalah buah dari kesalahan pengelolaan lingkungan. Bukan  curah hujan yang perlu disalahkan, tetapi ketidaktepatan manusia dalam mengelola air hujan, sehingga melahirkan bencana. Andai saja, manusia sigap dan tahu diri dalam melakukan pembangunan wilayah dengan tepat, maka curah hujan, akan tetap memberikan manfaat, andaipun ada dampak buruknya tidak akan melahirkan bencara parah yang memprihatinkan.

Sayangnya, sikap ego teknologi dan ego-manusia itu, menganggap dirinya memiliki kuasa untuk merekayasa lingkungan sesuka hati. Ujungnya bisa terjebak pada 'memperkosa alam' untuk kepuasan ekonomi atau hasrat-kekuasaan dirinya sendiri. Inilah yang kita sebut kekufuran ekologi.

Pemikiran ketiga, dalam geografi itu, dikenal ada konsep probabilisme, yang menganut keyakinan potensia dan aktualitas. Pandangan fisis determinisme, cenderung fatalis dan menyerah terhadap konsisi alam, sedangkan posibilisme cenderung egos-sentris kemanusiaan. Kedua sisi itu, sama-sama memiliki kelemahan. Fisis determinisme tidak mengakui potensi aktual manusia dan teknologi, sedangkan posibilsme tidak mengakui karakter alami. 
Sehubungan hal itu, pandangan probabilisme menekankan mengenai keselarasan antara kerja manusia, teknologi dengan karakter lingkungan itu sendiri. Artinya, manusia dan teknologi memiliki batasan-fungsi dihadapan sifat alam (natural power).

Ah, tidak bermaksud untuk bermain-main dengan kata, tetapi padanan untuk pandangan ini, serupa dengan konsep Imam Ghazali, yang pentingnya pengedapann sikap moderat yang progresif. Di sebut moderat, karena meyakini adanya potensi dari alam dan juga manusia serta teknologi. Kemudian disebut moderat, artinya kemajuan adalah pertemuan potensial positif dari simpul peradaban itu sendiri. Sementara bencana, adalah kesenjangan antara potensi dengan aktualitas dari simpul peradaban itu sendiri. Oleh karena itu, sistem ekonomi lingkungan yang moderat perlu dikedepankan, dan itulah yang kita sebut iqthishodul bi'ah muqtashid (ekonomi lingkungan yang moderat), atau an-nizamu'l bi'ah muqtashid (sistem lingkungan yang moderat).

Categories: ,


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar