Just another free Blogger theme

Sabtu, 12 Oktober 2024

 Persiapan keberangkatan haji/umrah, sudah terasa di berbagai pelosoik daerah. Kebahagiaan atau suka cita di wajah calon jama’ah haji/umrah, begitu tampak bersinar dan  berbinar. Cahaya kebahagiaan itu, menunjukkan satu ‘keaguhan nilai’ haji/umrah yang selama ini diimajinasikan, diimpikan atau diharapkannya.

Ibadah haji adalah ibadah tertua yang dilakukan oleh makhluk Allah di muka bumi. Ibadah ini bukan hanya disyariatkan sejak masa Nabi Ibrahim alaihissalam yang konon diperkirakan hidup sekitar tahun 1997 – 1822 sebelum masehi. Itu berarti sejak hampir 40 abad yang lalu.

Dalam kitab tafsir Al-Jami’ li-Ahkamil Quran, AL-Imam Al-Qurthubi menukil pendapat Mujahid yang menyebutkan bahwa Allah SWT telah menciptakan tempat untuk ka’bah ini 2000 tahun sebelum menciptakan segala sesuatu di bumi.

Sedangkan Al-Imam Ath-Thabari dalam kitab tafsir AthThabari, menukil pendapat Qatadah yang mengatakan bahwa Ka’bah adalah rumah pertama yang didirikan Allah, kemudian Nabi Adam alaihissalam bertawaf di sekelilingnya, hingga seluruh manusia berikutnya melakukan tawaf seperti beliau.

Sebagai salah satu praktek ibadah Umat Islam, diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai makna haji, sehingga bisa menjadi bagian penting dalam menjalankan ibadah haji dimaksud. Mendukung penguatan pemahaman kita mengenai makna hajji/umrah, kiranya perlu disampaikan di sini, beberapa pandangan yang terkait dengan makna haji.

Pertama, Secara bahasa, kata haji bermakna al-qashdu, yang artinya menyengaja, atau menyengaja melakukan sesuatu yang agung. Dikatakan hajja ilaina fulan artinya fulan mendatangi kita. Sekaitan dengan hal ini, makna haji dapat pula diartikan sebagai tamu, orang yang mengunjungi. Tidak mengherankan bila kemudian di tengah Masyarakat, kerap kita mendengar jama’ah haji disebut tamu-tamu Allah.  Istilah ‘umrah, selaras dengan makna haji pula, kata ini mengandung arti az-ziyarah, yaitu berkunjung atau mendatangi suatu tempat atau seseorang.

Secara istilahi, orang yang bertamu disebut haji. Lantas, bagaimana jika orang itu sudah pulang ke Indonesia atau ke tempat asalnya lagi, apakah mereka pun masih bisa disebut haji ? mungkin yang tepat, bukan disebut haji, tetapi pernah berhajji ke Baitullah. Oleh karena itu, penyebutan haji sebagai gelar, lebih tepatnya (secara sosiologis) menunjukkan orang yang pernah bertamu ke Baitullah.

Seseorang bisa saja, pernah berziarah ke Singapura, Hongkong atau Sydney Australia. Sepulang dari Lokasi ziarah itu, tidak lagi disebut peziarah, hanya saja, memang dia pernah berziarah. Karena itu, gelar haji, sejatinya adalah merujuk pada identitas seseorang yang pernah berziarah.

Kedua, kata hajji dan umrah secara syari’ah, merujuk pada praktek kunjungan seorang muslim ke baitullah (Kabah) di Makkah al Mukarramah, dan sejumlah tempat di Madinaha al-Munawarah.  Pemaknaan ini sekaligus membatasi makna umum hajji/umrah. Orang yang bertamu bisa juga di sebut hajji dan  umrah, tetapi makna syar’i,  hajji/umrah adalah kunjungan ke suatu tempat, waktu, dan cara pelaksanaan yang sudah ditetapkan dalam kaidah hukum Islam.

Ketiga, Ibadah haji merupakan ibadah paripurna yang meliputi seluruh aspek ibadah baik lahir maupun batin, jasmaniah maupun ruhaniah. Siapa pun yang sudah berhaji dengan memenuhi berbagai kriteria yang tercantum dalam kitab fikih haji seharusnya dapat dikatakan mabrur. Namun sering ditemukan banyak orang yang telah berhaji tidak diikuti dengan perubahan sikap sosial yang shaleh. Apa substansi masalahnya? Definisi mabrur itu sendiri tidak dapat dipahami hanya dari narasi definisi yang telah disampaikan diberbagai rujukan karena definisi haji mabrur yang dilandasi oleh indikator syariat saja belum tentu dapat merubah perilaku seseorang. Untuk itu perlu memberikan alternatif pemahaman terhadap maknamakna perilaku haji yang terdapat dalam rangkaian manasik haji secara mendalam untuk mengungkap rahasia dan makna strategis yang menyentuh hati.

Keempat, tak bisa dilupakan pula, haji dapat diartikan sebagai perjalanan religi dalam menapaktilasi sejarah peradaban dan keadaban Islam. Seorang jama’ah haji/umrah, akan mengunjungi dan melakukan ritual peribadahan (manasik) yang memiliki nuansa spiritual dan juga historical.

Saat seseorang melakukan ibadah haji, akan dihadapkan pada situs-situs Islam, dan peristiwa spiritualitas keluarga Ibrahim As. Perjuangan Ibrahim As dan keluarganya, tidak bisa dipisahkan dari prses ibadah haji yang dilakukan umat Islam di setiap tahunnya.

Tearkhir, peristiwa ibdah haji juga menandai puncak keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW. Itulah momentum haji wada’ (perpisahan) yang merupakan ibadah haji yang pertama kali dilakukan oleh beliau SAW sekaligus ibadah haji yang terakhir. Beberapa saat setelah momentum ibadah haji wada’, Rasulullah SAW pun menutup mata.

Berdasarkan pendalaman makna kata tersebut, dapatlah dipetik hikmahnya, bahwa perjalanan haji itu, termasuk jenis praktek ibadah yang memiliki makna dan dimensi yang sangat luas. Perjalanan haji, bukan sekedar membutuhkan kesungguhan dan tekad niat yang baik, tetapi juga kesiapan finansial, dan juga fisik jasmani. 

Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar