Persiapan keberangkatan haji/umrah, sudah terasa di berbagai pelosoik daerah. Kebahagiaan atau suka cita di wajah calon jama’ah haji/umrah, begitu tampak bersinar dan berbinar. Cahaya kebahagiaan itu, menunjukkan satu ‘keaguhan nilai’ haji/umrah yang selama ini diimajinasikan, diimpikan atau diharapkannya.
Ibadah haji
adalah ibadah tertua yang dilakukan oleh makhluk Allah di muka bumi. Ibadah ini
bukan hanya disyariatkan sejak masa Nabi Ibrahim alaihissalam yang konon
diperkirakan hidup sekitar tahun 1997 – 1822 sebelum masehi. Itu berarti sejak
hampir 40 abad yang lalu.
Dalam kitab
tafsir Al-Jami’ li-Ahkamil Quran, AL-Imam Al-Qurthubi menukil pendapat Mujahid
yang menyebutkan bahwa Allah SWT telah menciptakan tempat untuk ka’bah ini 2000
tahun sebelum menciptakan segala sesuatu di bumi.
Sedangkan
Al-Imam Ath-Thabari dalam kitab tafsir AthThabari, menukil pendapat Qatadah
yang mengatakan bahwa Ka’bah adalah rumah pertama yang didirikan Allah,
kemudian Nabi Adam alaihissalam bertawaf di sekelilingnya, hingga seluruh
manusia berikutnya melakukan tawaf seperti beliau.
Sebagai salah
satu praktek ibadah Umat Islam, diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai
makna haji, sehingga bisa menjadi bagian penting dalam menjalankan ibadah haji
dimaksud. Mendukung penguatan pemahaman kita mengenai makna hajji/umrah,
kiranya perlu disampaikan di sini, beberapa pandangan yang terkait dengan makna
haji.
Pertama, Secara
bahasa, kata haji bermakna al-qashdu, yang artinya menyengaja, atau menyengaja
melakukan sesuatu yang agung. Dikatakan hajja ilaina fulan artinya fulan
mendatangi kita. Sekaitan dengan hal ini, makna haji dapat pula diartikan
sebagai tamu, orang yang mengunjungi. Tidak mengherankan bila kemudian di
tengah Masyarakat, kerap kita mendengar jama’ah haji disebut tamu-tamu
Allah. Istilah ‘umrah, selaras dengan
makna haji pula, kata ini mengandung arti az-ziyarah, yaitu berkunjung atau
mendatangi suatu tempat atau seseorang.
Secara
istilahi, orang yang bertamu disebut haji. Lantas, bagaimana jika orang itu
sudah pulang ke Indonesia atau ke tempat asalnya lagi, apakah mereka pun masih
bisa disebut haji ? mungkin yang tepat, bukan disebut haji, tetapi pernah
berhajji ke Baitullah. Oleh karena itu, penyebutan haji sebagai gelar, lebih
tepatnya (secara sosiologis) menunjukkan orang yang pernah bertamu ke
Baitullah.
Seseorang bisa
saja, pernah berziarah ke Singapura, Hongkong atau Sydney Australia. Sepulang
dari Lokasi ziarah itu, tidak lagi disebut peziarah, hanya saja, memang dia
pernah berziarah. Karena itu, gelar haji, sejatinya adalah merujuk pada
identitas seseorang yang pernah berziarah.
Kedua, kata
hajji dan umrah secara syari’ah, merujuk pada praktek kunjungan seorang muslim
ke baitullah (Kabah) di Makkah al Mukarramah, dan sejumlah tempat di Madinaha
al-Munawarah. Pemaknaan ini sekaligus
membatasi makna umum hajji/umrah. Orang yang bertamu bisa juga di sebut hajji
dan umrah, tetapi makna syar’i, hajji/umrah adalah kunjungan ke suatu tempat,
waktu, dan cara pelaksanaan yang sudah ditetapkan dalam kaidah hukum Islam.
Ketiga, Ibadah
haji merupakan ibadah paripurna yang meliputi seluruh aspek ibadah baik lahir
maupun batin, jasmaniah maupun ruhaniah. Siapa pun yang sudah berhaji dengan
memenuhi berbagai kriteria yang tercantum dalam kitab fikih haji seharusnya
dapat dikatakan mabrur. Namun sering ditemukan banyak orang yang telah berhaji
tidak diikuti dengan perubahan sikap sosial yang shaleh. Apa substansi
masalahnya? Definisi mabrur itu sendiri tidak dapat dipahami hanya dari narasi
definisi yang telah disampaikan diberbagai rujukan karena definisi haji mabrur
yang dilandasi oleh indikator syariat saja belum tentu dapat merubah perilaku
seseorang. Untuk itu perlu memberikan alternatif pemahaman terhadap maknamakna
perilaku haji yang terdapat dalam rangkaian manasik haji secara mendalam untuk
mengungkap rahasia dan makna strategis yang menyentuh hati.
Keempat, tak bisa dilupakan pula, haji dapat diartikan sebagai perjalanan religi dalam menapaktilasi sejarah peradaban dan keadaban Islam. Seorang jama’ah haji/umrah, akan mengunjungi dan melakukan ritual peribadahan (manasik) yang memiliki nuansa spiritual dan juga historical.
Saat seseorang
melakukan ibadah haji, akan dihadapkan pada situs-situs Islam, dan peristiwa
spiritualitas keluarga Ibrahim As. Perjuangan Ibrahim As dan keluarganya, tidak
bisa dipisahkan dari prses ibadah haji yang dilakukan umat Islam di setiap
tahunnya.
Tearkhir, peristiwa
ibdah haji juga menandai puncak keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW. Itulah
momentum haji wada’ (perpisahan) yang merupakan ibadah haji yang pertama kali
dilakukan oleh beliau SAW sekaligus ibadah haji yang terakhir. Beberapa saat
setelah momentum ibadah haji wada’, Rasulullah SAW pun menutup mata.
Berdasarkan
pendalaman makna kata tersebut, dapatlah dipetik hikmahnya, bahwa perjalanan
haji itu, termasuk jenis praktek ibadah yang memiliki makna dan dimensi yang
sangat luas. Perjalanan haji, bukan sekedar membutuhkan kesungguhan dan tekad
niat yang baik, tetapi juga kesiapan finansial, dan juga fisik jasmani.
0 comments:
Posting Komentar