Just another free Blogger theme

Sabtu, 12 Oktober 2024

Bila tidak ada masalah khusus, atau situasi dan konteks tertentu, maka sikap istiqamah atau ajeg adalah sesuatu yang sangat penting. Keajegan dan keteguhan dalam menjalankan ajaran Islam menjadi sesuatu yang perlu dan dan teguh dianut oleh seorang Muslim. Namun demikian, ternyata, al-Qur’an memberikan inspirasi bahwa dalam situasi dan kondisi tertentu, sikap keajegan atau sikap tegak lurus,  boleh dilewati.


Sikap yang menunjukkan perubahan atau pergesaran sikap dari sikap tegak lurus, yaitu sikap sedikit condong atau geser dari sikap ajeg atau tegak lurus. Istilah yang digunakannya, yaitu janaha.

Meminjam pendapat dari Ashfahani (Al-Ashfahani, 2017:jilid 1 : 26-28), kata janaha mengandung makna “sayap yang mengepak, atau malam yang gelap, atau condong dan cenderung miring”. Bahkan, dalam konteks tertentu, dapat pula diartikan ‘cenderung dosa’. 

Untuk kesempatan ini, akan disampaikan analisis terhadap penggunaan konsep janaha dalam kaitannya fiqh Islam. Dalam hal ini penggunaan konsep janaha dalam al-Qur’an, malah ‘cenderung’ diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti ‘dosa’. Pertanyaannya, apakah pemaknaan serupa ini, tepat ? ataukah, perlu ada pengembangan makna yang lain ?  

Untuk mendapat kejelasan ini, kiranya kita dapat melakukan kajian terhadap  ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan konsep janaha. Pertama, terkait dengan pemanfaatan peluang mencari karunia, disaat menjalankan ibadah haji.

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ ۗ فَاِذَآ اَفَضْتُمْ مِّنْ عَرَفٰتٍ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوْهُ كَمَا هَدٰىكُمْ ۚ وَاِنْ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلِهٖ لَمِنَ الضَّاۤلِّيْنَ ١٩٨ ( البقرة/2: 198)

Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu (pada musim haji). Apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masyarilharam.  Berzikirlah kepada-Nya karena Dia telah memberi petunjuk kepadamu meskipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (Al-Baqarah/2:198)

Dengan kata lain, pada dasarnya, ibadah haji dari Arafah itu tugas pokok dan paling utamanya adalah beribadah secara khusyu, atau berzikir sesuai manasik yang ditentukan dalam syari’ah.  Itulah perintah ajeg, tegak lurus, atau kepatutannya. Karena Kebajikan Ilahi, selain praktek ibadah haji itu, dibolehkan ‘condong’ sedikit ke praktek duniawi, yakni mencaria karunia Allah Swt sewaktu melaksanakan ibadah haji. Itulah yang disebut, miring dari tugas yang tegak lurusnya.

Kedua, hilaf membuat catatan utang piutang. Islam menunjukkan pentingnya sikap professional dan kerapihan administrasi utang-piutang. Sikap profesi dan kerapihan itu yakni ditunjukkan dengan kepatutannya untuk membuat catatan (akuntasi) utang piutang. Inilah sikap ajeg, tegak lurus, dan istiqomah dalam kepatuhan administrasi.  Sekali lagi, dalam hal ini, ternyata Allah Swt pun menolerir, manakala tidak ajeg atau tegak lurus dengan kepatutan itu. Inspirasinya ada dalam firman Allah Swt :

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(-nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu……

فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ٢٨٢ ( البقرة/2: 282)

Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.  (Al-Baqarah/2:282)

Informasi yang disampaikan dalam firman itu, yakni (a) pentingnya melakukan pencatatan masalah utang piutang, namun demikian (b) bila pun, tidak dicatat, baik itu hilap atau karena sesuatu hal tidak membuat catatan utang piutang itu, maka Tindakan itu tidak masuk pada pelanggaran aturan, namun merupakan satu sikap miring dari sikap ajeg atau sikap istiqamah dalam Islam.  

Ketiga, melakukan amalan qashar, kendati mungkin, masih ada peluang dilaksanakan ibadah shalat secara normal. Ibadah shalat, pada dasarnya adalah amalan yang tidak bisa ditinggalkan dalam situasi apapun, dan kondisi apapun. Hal yang membedakan, adalah caranya saja. Termasuk dalam hal ini, yakni dalam situasi sempit atau sibuk. Allah Swt berfirman :

وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ اِنَّ الْكٰفِرِيْنَ كَانُوْا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِيْنًا ١٠١ ( النساۤء/4: 101)

Apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak dosa bagimu untuk mengqasar salat jika kamu takut diserang orang-orang yang kufur. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.  (An-Nisa'/4:101)

Informasi ayat ini, menegaskan bahwa dalam situasi khusus, seorang muslim bisa jadi dihadapkan pada situasi yang pelik. Sempit waktu, atau sibuk kerja, atau perjalanan jauh. Untuk situasi serupa ini, kendati dia mampu melaksanakan ibadah shalat secara sempurna atau penuh (tamam), namun dibolehkan untuk melakukan qashar di dalamnya. Menjalankan ibadah shalat secara qashar, adalah miring dari sikap tegak lurus shalat yang tamam (penuh sempurna).

Keempat, perbuatan keliru di masa lalu, tidak masuk kategori jinaahu. Setiap orang memiliki sejarah dan perkembangan spiritual yang unik, dan bisa dibedakan dari orang lain. Seperti halnya Umar bin Khaththab r.a., memiliki perjalanan spiritual yang berbeda dari Ali bin Abu Thalib, k.w., Usman bin Affan r.a., atau sahabat nabi yang lainnya. Apakah perbuatan buruk kita di masa lalu, menjadi dosa kita di hari ini ? ternyata Allah Swt menegaskan bahwa :

لَيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ جُنَاحٌ فِيْمَا طَعِمُوْٓا اِذَا مَا اتَّقَوْا وَّاٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَّاٰمَنُوْا ثُمَّ اتَّقَوْا وَّاَحْسَنُوْا ۗوَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ ٩٣ ( الماۤئدة/5: 93)

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh menyangkut sesuatu yang telah mereka makan (dahulu sebelum turunnya aturan yang mengharamkan), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan amal-amal saleh, kemudian mereka (tetap) bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.  (Al-Ma'idah/5:93)

Kelima, main di temat atau fasilitas umum atau Gedung yang tidak ada kepentingan dengan diri sendiri.

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ مَسْكُوْنَةٍ فِيْهَا مَتَاعٌ لَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُوْنَ وَمَا تَكْتُمُوْنَ ٢٩ ( النّور/24: 29)

Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak dihuni (sebagai tempat umum) yang di dalamnya ada kepentingan kamu; Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.  (An-Nur/24:29)

Dengan demikian, saat kita berisirahat, healing atau shopping, kemudian kita duduk-duduk, atau tinggal sesaat di tempat fasilitas umum itu, tanpa ada maksud  untuk menetap di tempat itu (maskunah), maka hal itu bukan sebuah kekeliruan.

Keenam, rukhsah dalam membuka pakian di waktu tertentu. Seorang muslim, baik pria maupun Wanita, memiliki kewajiban untuk menjaga aurat. Ketentuan ini, adalah ketentuan tegak-lurus dan ajeg yang perlu dikedepankan oleh seorang muslim. Namun, Allah Swt memberikan kebijakan bahwa :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ وَالَّذِيْنَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلٰثَ مَرّٰتٍۗ مِنْ قَبْلِ صَلٰوةِ الْفَجْرِ وَحِيْنَ تَضَعُوْنَ ثِيَابَكُمْ مِّنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْۢ بَعْدِ صَلٰوةِ الْعِشَاۤءِۗ ثَلٰثُ عَوْرٰتٍ لَّكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌۢ بَعْدَهُنَّۗ طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلٰى بَعْضٍۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ٥٨ ( النّور/24: 58)

Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu meminta izin kepada kamu tiga kali, yaitu sebelum salat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari, dan setelah salat Isya. (Itu adalah) tiga (waktu yang biasanya) aurat (terbuka) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu. (Mereka) sering keluar masuk menemuimu. Sebagian kamu (memang sering keluar masuk) atas sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat kepadamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nur/24:58)

Dengan kata lain, membuka pakaian dihadapan orang-orang tertentu, sebagaimana yang tercantum dalam ayat ini, masuk dalam kategori ‘miringnya’ aturan dalam Islam sesuai dengan situasi dan kondisi. Hal ini, diperkuat pula dalam ayat lainnya.

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاۤءِ الّٰتِيْ لَا يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ اَنْ يَّضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجٰتٍۢ بِزِيْنَةٍۗ وَاَنْ يَّسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ٦٠ ( النّور/24: 60)

Para perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak lagi berhasrat menikah, tidak ada dosa bagi mereka menanggalkan pakaian (luar) dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan. Akan tetapi, memelihara kehormatan (tetap mengenakan pakaian luar) lebih baik bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (An-Nur/24:60)

Kelima, makan bersama atau sendirian. Dalam tradisi makan, atau kuliner, seorang muslim boleh makan bersama, atau sendirian.

…. لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَأْكُلُوْا جَمِيْعًا اَوْ اَشْتَاتًاۗ فَاِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُبٰرَكَةً طَيِّبَةً ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ ࣖ ٦١ ( النّور/24: 61)

…….Tidak ada halangan bagimu untuk makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah itu, hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) kepadamu agar kamu mengerti. (An-Nur/24:61)

Terakhir, menggunakan nama sendiri untuk anak angkat, disaat tidak diketahui nasabnya.

اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ ۗوَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ٥ ( الاحزاب/33: 5)

Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka. Itulah yang adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzab/33:5)

Anak angkat, secara hukum masih tetap milik orangtuanya. Karena itu, nama nashab ini, tidak boleh dihilangkan atau dihapuskan. Tetapi, manakala orangtua angkat itu, tidak memiliki informasi jejak-nashab anak angkatnya, maka masih dibolehkan menggunakan Namanya untuk kelengkapan administrasi anak angkat tersebut.

Berdasarkan paparan ini, dapat disimpulkan bahwa kata janaha, adalah perbuatan manusia yang berada dalam koridor toleransi syari’at Islam. Perbuatan itu, dapat dipastikan ‘tidak tegak lurus’ dengan syari’at Islam yang baku, namun, amalannya tetap tidak dimasukkan dalam kategori dosa. Amalan janaha, mirip dengan gerap sayap burung, yaitu dinamika amal ibadah sesuai dengan situasi dan konteksnya. Dengan kata lain, konsep janah merujuk pada sikap syari’ah yang tidak kaku, tetapi sisi fleksibilitas dalam ajaran Islam.   

Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar