Bila tidak ada masalah khusus, atau situasi dan konteks tertentu, maka sikap istiqamah atau ajeg adalah sesuatu yang sangat penting. Keajegan dan keteguhan dalam menjalankan ajaran Islam menjadi sesuatu yang perlu dan dan teguh dianut oleh seorang Muslim. Namun demikian, ternyata, al-Qur’an memberikan inspirasi bahwa dalam situasi dan kondisi tertentu, sikap keajegan atau sikap tegak lurus, boleh dilewati.
Sikap yang menunjukkan perubahan atau pergesaran sikap dari sikap tegak lurus, yaitu sikap sedikit condong atau geser dari sikap ajeg atau tegak lurus. Istilah yang digunakannya, yaitu janaha.
Meminjam
pendapat dari Ashfahani
Untuk kesempatan ini, akan disampaikan analisis terhadap penggunaan konsep janaha dalam kaitannya fiqh Islam. Dalam hal ini penggunaan konsep janaha dalam al-Qur’an, malah ‘cenderung’ diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti ‘dosa’. Pertanyaannya, apakah pemaknaan serupa ini, tepat ? ataukah, perlu ada pengembangan makna yang lain ?
Untuk
mendapat kejelasan ini, kiranya kita dapat melakukan kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan konsep
janaha. Pertama, terkait dengan pemanfaatan peluang mencari karunia, disaat
menjalankan ibadah haji.
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا
فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ ۗ فَاِذَآ اَفَضْتُمْ مِّنْ عَرَفٰتٍ فَاذْكُرُوا
اللّٰهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوْهُ كَمَا هَدٰىكُمْ ۚ وَاِنْ
كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلِهٖ لَمِنَ الضَّاۤلِّيْنَ ١٩٨ ( البقرة/2: 198)
Bukanlah
suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu (pada musim haji). Apabila kamu
bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masyarilharam. Berzikirlah kepada-Nya karena Dia telah
memberi petunjuk kepadamu meskipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk
orang-orang yang sesat. (Al-Baqarah/2:198)
Dengan kata lain, pada dasarnya, ibadah haji dari
Arafah itu tugas pokok dan paling utamanya adalah beribadah secara khusyu, atau
berzikir sesuai manasik yang ditentukan dalam syari’ah. Itulah perintah ajeg, tegak lurus, atau
kepatutannya. Karena Kebajikan Ilahi, selain praktek ibadah haji itu,
dibolehkan ‘condong’ sedikit ke praktek duniawi, yakni mencaria karunia Allah Swt
sewaktu melaksanakan ibadah haji. Itulah yang disebut, miring dari tugas yang
tegak lurusnya.
Kedua, hilaf membuat catatan utang piutang. Islam menunjukkan
pentingnya sikap professional dan kerapihan administrasi utang-piutang. Sikap
profesi dan kerapihan itu yakni ditunjukkan dengan kepatutannya untuk membuat
catatan (akuntasi) utang piutang. Inilah sikap ajeg, tegak lurus, dan istiqomah
dalam kepatuhan administrasi. Sekali
lagi, dalam hal ini, ternyata Allah Swt pun menolerir, manakala tidak ajeg atau
tegak lurus dengan kepatutan itu. Inspirasinya ada dalam firman Allah Swt :
Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(-nya)
dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah dia bertakwa kepada
Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang
berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu
mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah
kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua
orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara
orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah
seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu bosan mencatatnya
sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu
lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih
mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu……
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا
تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ
وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا
اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ٢٨٢ (
البقرة/2: 282)
Maka, tidak
ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi
apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit),
begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu
suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran
kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah/2:282)
Informasi yang disampaikan dalam firman itu, yakni
(a) pentingnya melakukan pencatatan masalah utang piutang, namun demikian (b) bila
pun, tidak dicatat, baik itu hilap atau karena sesuatu hal tidak membuat
catatan utang piutang itu, maka Tindakan itu tidak masuk pada pelanggaran
aturan, namun merupakan satu sikap miring dari sikap ajeg atau sikap istiqamah
dalam Islam.
Ketiga, melakukan amalan qashar, kendati mungkin,
masih ada peluang dilaksanakan ibadah shalat secara normal. Ibadah shalat, pada
dasarnya adalah amalan yang tidak bisa ditinggalkan dalam situasi apapun, dan
kondisi apapun. Hal yang membedakan, adalah caranya saja. Termasuk dalam hal
ini, yakni dalam situasi sempit atau sibuk. Allah Swt berfirman :
وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ
يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ اِنَّ الْكٰفِرِيْنَ كَانُوْا لَكُمْ
عَدُوًّا مُّبِيْنًا ١٠١ ( النساۤء/4: 101)
Apabila kamu
bepergian di bumi, maka tidak dosa bagimu untuk mengqasar salat jika kamu takut
diserang orang-orang yang kufur. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu. (An-Nisa'/4:101)
Informasi ayat ini, menegaskan bahwa dalam situasi
khusus, seorang muslim bisa jadi dihadapkan pada situasi yang pelik. Sempit
waktu, atau sibuk kerja, atau perjalanan jauh. Untuk situasi serupa ini,
kendati dia mampu melaksanakan ibadah shalat secara sempurna atau penuh
(tamam), namun dibolehkan untuk melakukan qashar di dalamnya. Menjalankan
ibadah shalat secara qashar, adalah miring dari sikap tegak lurus shalat yang tamam
(penuh sempurna).
Keempat, perbuatan keliru di masa lalu, tidak masuk
kategori jinaahu. Setiap orang memiliki sejarah dan perkembangan spiritual yang
unik, dan bisa dibedakan dari orang lain. Seperti halnya Umar bin Khaththab
r.a., memiliki perjalanan spiritual yang berbeda dari Ali bin Abu Thalib, k.w.,
Usman bin Affan r.a., atau sahabat nabi yang lainnya. Apakah perbuatan buruk
kita di masa lalu, menjadi dosa kita di hari ini ? ternyata Allah Swt
menegaskan bahwa :
لَيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا
الصّٰلِحٰتِ جُنَاحٌ فِيْمَا طَعِمُوْٓا اِذَا مَا اتَّقَوْا وَّاٰمَنُوْا
وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَّاٰمَنُوْا ثُمَّ اتَّقَوْا
وَّاَحْسَنُوْا ۗوَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ ٩٣ ( الماۤئدة/5: 93)
Tidak ada
dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh menyangkut
sesuatu yang telah mereka makan (dahulu sebelum turunnya aturan yang
mengharamkan), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan amal-amal
saleh, kemudian mereka (tetap) bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap
juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan. (Al-Ma'idah/5:93)
Kelima, main di temat atau fasilitas umum atau
Gedung yang tidak ada kepentingan dengan diri sendiri.
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَدْخُلُوْا
بُيُوْتًا غَيْرَ مَسْكُوْنَةٍ فِيْهَا مَتَاعٌ لَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا
تُبْدُوْنَ وَمَا تَكْتُمُوْنَ ٢٩ ( النّور/24: 29)
Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak
dihuni (sebagai tempat umum) yang di dalamnya ada kepentingan kamu; Allah
mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan. (An-Nur/24:29)
Dengan demikian, saat kita berisirahat, healing
atau shopping, kemudian kita duduk-duduk, atau tinggal sesaat di tempat
fasilitas umum itu, tanpa ada maksud untuk
menetap di tempat itu (maskunah), maka hal itu bukan sebuah kekeliruan.
Keenam, rukhsah dalam membuka pakian di waktu
tertentu. Seorang muslim, baik pria maupun Wanita, memiliki kewajiban untuk
menjaga aurat. Ketentuan ini, adalah ketentuan tegak-lurus dan ajeg yang perlu
dikedepankan oleh seorang muslim. Namun, Allah Swt memberikan kebijakan bahwa :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ وَالَّذِيْنَ لَمْ
يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلٰثَ مَرّٰتٍۗ مِنْ قَبْلِ صَلٰوةِ الْفَجْرِ
وَحِيْنَ تَضَعُوْنَ ثِيَابَكُمْ مِّنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْۢ بَعْدِ صَلٰوةِ
الْعِشَاۤءِۗ ثَلٰثُ عَوْرٰتٍ لَّكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ
جُنَاحٌۢ بَعْدَهُنَّۗ طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلٰى بَعْضٍۗ كَذٰلِكَ
يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ٥٨ ( النّور/24:
58)
Wahai
orang-orang yang beriman, hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang
kamu miliki dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu meminta
izin kepada kamu tiga kali, yaitu sebelum salat Subuh, ketika kamu menanggalkan
pakaian (luar)-mu di tengah hari, dan setelah salat Isya. (Itu adalah) tiga
(waktu yang biasanya) aurat (terbuka) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan
tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu. (Mereka) sering keluar
masuk menemuimu. Sebagian kamu (memang sering keluar masuk) atas sebagian yang
lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat kepadamu. Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. (An-Nur/24:58)
Dengan kata lain, membuka pakaian dihadapan
orang-orang tertentu, sebagaimana yang tercantum dalam ayat ini, masuk dalam
kategori ‘miringnya’ aturan dalam Islam sesuai dengan situasi dan kondisi. Hal
ini, diperkuat pula dalam ayat lainnya.
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاۤءِ الّٰتِيْ لَا
يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ اَنْ يَّضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ
غَيْرَ مُتَبَرِّجٰتٍۢ بِزِيْنَةٍۗ وَاَنْ يَّسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّۗ
وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ٦٠ ( النّور/24: 60)
Para
perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak lagi
berhasrat menikah, tidak ada dosa bagi mereka menanggalkan pakaian (luar)
dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan. Akan tetapi, memelihara
kehormatan (tetap mengenakan pakaian luar) lebih baik bagi mereka. Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (An-Nur/24:60)
Kelima, makan bersama atau sendirian. Dalam tradisi makan, atau kuliner,
seorang muslim boleh makan bersama, atau sendirian.
…. لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَأْكُلُوْا جَمِيْعًا اَوْ
اَشْتَاتًاۗ فَاِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ
تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُبٰرَكَةً طَيِّبَةً ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ
اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ ࣖ ٦١ ( النّور/24: 61)
…….Tidak ada halangan bagimu
untuk makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki
rumah-rumah itu, hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti
memberi salam) kepada dirimu sendiri dengan salam yang penuh berkah dan baik
dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) kepadamu agar
kamu mengerti. (An-Nur/24:61)
Terakhir, menggunakan nama sendiri untuk anak
angkat, disaat tidak diketahui nasabnya.
اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ
عِنْدَ اللّٰهِ ۚ فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى
الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ ۗوَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ
بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا
رَّحِيْمًا ٥ ( الاحزاب/33: 5)
Panggillah
mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka. Itulah yang adil
di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, (panggillah mereka
sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Tidak ada dosa atasmu
jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzab/33:5)
Anak angkat, secara hukum masih tetap milik
orangtuanya. Karena itu, nama nashab ini, tidak boleh dihilangkan atau
dihapuskan. Tetapi, manakala orangtua angkat itu, tidak memiliki informasi
jejak-nashab anak angkatnya, maka masih dibolehkan menggunakan Namanya untuk
kelengkapan administrasi anak angkat tersebut.
Berdasarkan paparan ini, dapat disimpulkan bahwa
kata janaha, adalah perbuatan manusia yang berada dalam koridor toleransi syari’at
Islam. Perbuatan itu, dapat dipastikan ‘tidak tegak lurus’ dengan syari’at Islam
yang baku, namun, amalannya tetap tidak dimasukkan dalam kategori dosa. Amalan
janaha, mirip dengan gerap sayap burung, yaitu dinamika amal ibadah sesuai
dengan situasi dan konteksnya. Dengan kata lain, konsep janah merujuk pada
sikap syari’ah yang tidak kaku, tetapi sisi fleksibilitas dalam ajaran Islam.
0 comments:
Posting Komentar