Sudah bukan informasi baru. Dalam tradisi filsafat ada pernyataan bahwa kelakuan manusia, bisa terjebak pada sisi yang ekstrim. Satu sisi, manusia terjebak manusia hidup nyata dengan manusia lain, yang kemudian disebutnya homo homini socius. Tetapi pada sisi lain, manusia bisa masuk ke jurang tindakan hina, yakni menjadi homo homini lupus, manusia memangsa manusia yang lainnya.
Gejala yang ada, justru di era sekarang ini, bukanlah manusia memangsa mausia lainnya ? melainkan, ada indikasi bahwa manusia menunjukkan indikasi kelakuan hewan, atau yang disebut animalitas. Apa dan mengapa demikian ?
Untuk membuka narasi ini, kita pinjam penjelasan pada Sider Fusion. Dalam aplikasi itu, diterangkan bahwa
Homo homini lupus adalah istilah dalam bahasa Latin yang berarti "manusia adalah serigala bagi sesamanya." Istilah ini digunakan untuk menggambarkan sifat predator dan kejam manusia terhadap satu sama lain, mengkritisi tabiat manusia yang cenderung berperilaku egois atau merugikan orang lain.
Itulah yang disebut homo homini lupus. Identitas manusia, namun menunjukkan sikap serakah dan eksploitatif. Makhluk itu menjadi predator atau menjadikan orang lain, sebagai korban atau objek kepentingannya sendiri. Hal ini berbeda dengan apa yang disebut dengan animalitas (kebinatangan).
Ada ilustrasi menarik, terkait dengan animalitas. Ilustrasi ini, dapat ditemukan dari firman Allah Swt di Kitab Suci Al-Qur’an. Penulis menemukannya 2 ayat, pada dua surat yang berbeda. Pertama, pada Qs. Al-A'raf/7:179, dengan bunyi teks :
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ ١٧٩ ( الاعراف/7: 179)
Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (Al-A'raf/7:179).
Kemudian, di ayat 44 surat al-Furqan, adalah dengan narasi yang lebih pendek, yaitu :
اَمْ تَحْسَبُ اَنَّ اَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ اَوْ يَعْقِلُوْنَۗ اِنْ هُمْ اِلَّا كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ سَبِيْلًا ࣖ ٤٤ ( الفرقان/25: 44
Atau, apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka tidak lain hanyalah seperti hewan ternak. Bahkan, mereka lebih sesat jalannya. (Al-Furqan/25:44)
Merujuk pada dua ayat tersebut, kita mendapatkan inspirasi pandangan transformasi manusia dan kemanusiaan yang berbeda dengan pemahaman selama ini. Pada pemahaman kita selama ini, khususunya dari pemikiran yang berakar dari Yunani, manusia kerap kali diposisikan sebagai makhluk dalam posisi puncak evolusi. Setidaknya demikianlah, sampai abad XXI ini. Sehingga dengan demikian, identitas manusia kerap kali disebut sebagai makhluk lanjutan dari proses evolusi hewan (animal). Rasionalisasi dari pandangan ini, kemudian manusia disebut hewan rasional (animal rational), hewan yang menggunakan symbol (animal symbolicum), atau dalam literasi Muslim disebut hayawanun nathiq (hewan yang berakal).
Bila kembali mencermati firman Allah Swt itu, kualitas dan derajat manusia itu potensial turun menjadi makhluk yang lebih rendah lagi, yakni berposisi sebagai hewan, bahkan lebih sesat dari itu semua. Dalam konteks ini, pemahaman umum tidaklah merujuk pada proses evolusi fisik, melainkan evolusi-psikologis atau spiritual. Artinya, manusia yang tidak mampu menjaga marwah kemanusiaannya, akan terjerumus pada derajat hewan.
Apa factor utama menurunnya marwah kemanusiaan menjadi marwah hewan ?
Untuk membantu pemahaman kita, dapatlah kiranya kita menelaah kelakuan hewan ternak. Kelakuan hewan ternak itu, tentunya adalah ketidakbebasan hidup, dia berada dalam kerangkeng atau kandang sang majikan. Gaya hidupnya, tak lebih dari makan, minum, tidur, berkembang biak, dan menjadi sumber eksploitasi dari majikannya. Bila ada satu ritual sosial pun, dirinya malah menjadi korban dari nafsu sang majikan. Itulah nasib hewan ternak.
Persoalannya, apakah manusia berada dalam situasi serupa itu, dan bila demikian adanya pula, apa yang menjadi penyebabnya ?
Ilustrasi yang disajikan dalam dua ayat al-Qur’an tadi, yaitu merujuk pada ketidakberfungsiannya potensi-potensi kemanusiaan. Potensi kemanusiaan yang dimaksud itu, adalah potensi pengamatan, penyimakan dan penghayatan. Manusia kehilangan kemampuan riset, refleksi dan juga meditasi terhadap ragam hal yang nampak dan terjadi dalam kehidupannya. Kehidupannya, seakan sekedar ritual hidup yang 'wajib' dijalaninya. Inilah kealpaan kemanusiaan.
Hilangnya potensi kemanusiaan itulah, maka manusia dapat jatuh ke derajat hewan, yang kemudian melahirkan manusia dengan perilaku kehewanan, atau animalitas atau binatangisme.
0 comments:
Posting Komentar