Boleh jadi, setiap orang sudah paham. Bahwa sebagai makhluk hidup, akan berkembang secara berkelanjutan. Ada fase lahir, anak-anak, remaja, dewasa dan kemudian tua. Proses dan perjalanan hidup ini, dapat kita saksikan bersama. Semua orang, dan semua makhluk hidup, baik itu hewan maupun tumbuhan.
Bagi kalangan akademisi, kejadian dan gejala itu sudah dipahami bersama. Mereka menyebutnya satu proses evolusi (biologis). Untuk kalangan sosial dan psikolog pun, sudah biasa menggunakan teori ini sebagai salah satu cara memahami perkembangan dan perubahan manusia. Karena itu ada yang disebut teori evolusi sosial atau evolusi kepribadian manusia.
Namun demikian, kita sadar, setidaknya penulis, bahwa penerapan konsep ini, tidak banyak yang bisa menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, cukup banyak masalah keseharian kita yang menunjukkan gejala-gejala serupa itu, yakni adanya perubahan dan perkembangan yang bersifat evolutif.
Secara umum, perkembangan itu bertahap, mulai fase lahir, anak-anak, remaja, dewasa, tua dan mati. Tetapi, dalam praktiknya, tidak semua orang mengalami seluruh fase tersebut. Ada yang baru lahir, kemudian masuk fase mati. Ada yang mampu melewati fase anak-anak, sampai remaja, kemudian meninggal. NAmun ada pula yang sempurna, melalui seluruh tahapan tersebut. Lebih heboh dan luar biasa lagi, ada yang mengalami fase tuanya cukup dan sangat panjang, sehingga mendapat gelar manusia lanjut usia berusia panjang.
Apa yang menarik dengan gejala kehidupan harian ?
Ada sebuah ajaran yang disampaikan dalam Kitab Suci Agama Budha, yang berbunyi :
Appassutāyam puriso, balibaddhova jīrati; mamsāni tassa vaḍḍhanti, paññā tassa na vaḍḍhati.
Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi, dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak berkembang. (Kitab Dammapada, Jara Vagga : 152)
Pesan moral yang dapat kita petik, satu diantara sekian pemaknaan terhadap ajaran Budha ini, adalah ternyata ada indikasi ketimpangan dalam menjalani proses perkembangan hidup.
Misalnya. Ini sekedar misal. Orang bisa saja, mengaku sekolah sampai jenjang perguruan tinggi, dan setinggi langit. Tetapi kematangan intelektualitas atau kewarasannya, terbatas. Bisa jadi, orang serupa itulah, yang disindir dalam sabda tersebut. Di lingkungan sekolahnya, saya suka menyebutnya, mahasiswa KTP. Statusnya saja, mahasiswa, tetapi pola pikirnya anak sekolah dasar. Mahasiswa itulah yang Menua dan menyapi.
Atau, contoh lainnya, ini juga misal. Ada yang merasa berpengalaman dalam berpolitik puluhan tahun atau beberapa periode fase politik, namun kematangan dan kewarasan demokrasinya tumpul. Maka orang seperti ini pun, dapat disebut sebagai manusia yang menua, namun mirip sapi. Kita tidak paham, mengapa hal itu terjadi. Apakah dia ini adalah aktif menjadi anggota, akif sebagai pemegang kartu anggota saja, sementera aktiitas organisasinya tidak diikuti ? hal yang pasti dan dapat kita sebutkan disini, orang serupa itu adalah orang yang mengalami proses Menua dan menyapi.
Dalam kehidupan di rumah tangga pun, tidak mustahil akan terjadi serupa ini. Status sebagai orangtua, namun sifat dan perilaku kekanak-kanakkan, dan hilang kewarasan sebagai orangtua. Kehilangan jiwa kebijaksanaannya. Orang seperti itu pun, menua dan menyapi.
Pesan moral kedua, setidaknya menyadarkan dan mengingatkan kepada kita, bahwa kehadiran evolusi dan perubahan zaman, tidak serta merta meningkatkan kualitas dan esensi kedewasaan seseorang. Karena bisa jadi, orang tersebut tertidur atau pingsan. Tubuh dan fisiknya mampu melewati waktu, namun psikologis dan jiwanya tertinggal jauh, dan tidak berkembang seiring waktu.
sumber : https://www.kompasiana.com/momonsudarma/655fccabee794a776d627703/menua-dan-menyapi
0 comments:
Posting Komentar