Just another free Blogger theme

Rabu, 01 November 2023

Emosi yang ada dalam jiwa, kerapkali hadir dan muncul, mempengaruhi pikiran, ucapan dan juga tindakan. Kehadiran dan pengaruhnya, seringkali tidak terasa, dan tidak diduga.


Sudah dua minggu ini. Ingin sekali belajar, belajar mengendalikan nafsu, marah, dan atau emosi. Namun ternyata, situasi dan kondisi yang memaksa, memancing emosi itu keluar, dan tanpa kendali.

"saya masih sadar," ungkapnya dengan penuh hati-hati. "saya masih bisa mengendalikan, setidaknya, setengah kondisi masih terkendali..." pikirnya lagi, "namun, belum bisa terkuasai semuanya.."

Kesadaran ini, terasa selepas, kejadiannya itu berlalu. Kemudian, ada pihak lain berkomentar, "kelihatan, ngomong muter-muter, gak selesai-selesai, tapi berulang-ulang.." komen yang terhadap kelakuan pada pendiskusi yang terjadi saat itu.

Ya, betul. Siang, atau lebih tepat, siang menuju sore, selepas matahari tergelincir ke ufuk Barat, terjadi diskusi panjang, dan mungkin malah bisa disebut berkepanjangan. Saya hadir di lokasi, kemudian ada teman satu ruangan, dan teman satu kantor. Sementara teman-teman lainnya hanya jadi penguping saja. Mendengarkan dari jarak jauh saja. Diskusinya tidak jauh dari masalah yang dihadapi, dalam kesehariannya. Temanya pun, tidak aneh-aneh banget. Urusan sampah.

"Lha, kenapa urusan sampah menjadi diskusi berkepanjangan ?" tanya seseorang dari luar sana, selepas kejadian itu berlalu. 

Akar masalahnya, berawal dari ungkapan teman sekantor, yang mengatasnamakan diri sebagai orangtua, mengirimkan pesan singkat yang berbunyi :

"Kapan lagi memberi kemerdekaan tk mereka? Sebagian dari mereka sudah ada yg merasa diperlakukan seperti babu.  Padahal mereka sudah harus bersaing, fokus tuk ke PT.."

Soalnya apa ? reaksi serupa itu, terjadi, berawal dari kegiatan di minggu kemarin. Seluruh anak-anak, di sekolah ini,dilibatkan dalam mengolah, memilah dan membuat ecobrick. Semua orang. Tanpa terkecuali. Program itu, tidak melihat anak itu, putra siapa, putri siapa, ada kegiatan apa di luar, selain belajar di sekolah. Secara massal, mulai jam pertama, sampai jam ke tiga, habis waktunya untuk mengurai sampah, yang sudah menggunung, dan belum terselesaikan oleh  Pemerintah Daerah saat itu.

Betul. Kami menyadari. Akibat dari tumpukkan sampah, yang sudah hampir satu bulan lalu, tidak diangkut dan tidak terangkut oleh Pegawai Kebersihan Pemkot, menyebabkan sampah menggunung di pinggiran sekolah, berbau, berbelatung, dan sungguh tidak mengenakkan bagi siapapun. Sementara, di hari itu, kami semua harus turun melakukan pemilahan, dan pengolahan sampah itu menjadi ecobrict.

Anak-anak sekolahan tidak langsung melakukan hal itu. Seminggu sebelumnya, pengambilan sampah dari tempat sampah, sudah dilakukan oleh tim sapras dan carakan, sehingga melahirkan hampir 40 lebih kresbag, atau keresek hitam dengan ukuran jumbo. Setiap kelas, kedapatan satu kresbag besar untuk dipilah dan dipilih.

Kami beruntung. Sepengamatan di hari pelaksanaannya, setiap kelas mampu menunjukkan kegairahan dan dukungan yang luar biasa. Hampir bisa dipastikan, setiap kelas mampu melahirkan minimal 3 - 4 buah ecobrick, ada juga yang berhasil sampai belasan buah. Semua itu, hasil dari pengolahan sampah yang disimpan dalam satu kresbag tadi.

Lucunya, ada satu kelas yang hanya mampu menghasilkan satu buah saja. Hanya saja. Dari satu kresbag, ukuran sampah yang bisa mencapai 30 kg, dengan ukuran 90 x 120 cm. Melihat kerjaan serupa itu, muncul pertanyaan, "lha kok bisa? kelas lain, bisa membuatnya 3 buah bahkan ada yang sampai belasan buah, kelas ini hanya 1 buah ?"

Jawaban sebagian anak dengan polos, "iya, bu, karena banyak belatungnya, jadi yang cukup yang bersih saja di olah, yang lainnya, langsung dimasukkan lagi ke kresbag..? makanya cepat selesai.."

Mendengar komentar itu, dan melihat ritme kerja yang tidak sama denga kelas yang lain, kemudian mereka diajak untuk menyelesaikan tugas itu kembali. Di ulang lagi. Pelaksanaannya, sore hari, selepas pelajaran selesai di hari itu. 

Setelah dilakukan kerjasamanya. menurut ketua kelompok, mereka mampu menghasilkan 3 buah ecobrick lagi, sehingga jumlahnya menjadi empat buah ecobrick. "nah, itu bisa?" tanya sang guru, dijawab dengan singkat oleh anak-anak yang mengirimkan hasil pekerjaannya itu, hasil pekerjana itu bisa dilakukan, karena anak-anak kompak mengerjakannya.

Akibat dari pengulangan itu, sebagian anak-anak pulang sore. Karena pulang sore, dan mungkin ada sebagian diantara mereka ada jadwal lain di luar sekolah itulah, kemudian muncul komentar tadi.

Entah darimana harus memulainya. Niat baik untuk berbagi kisah dan peran, serta membangun karakter kolektif untuk peduli bersama terhadap kondisi kebersihan lingkungan bersama, malah melahirkan komentar serupa itu.

Dalam diskusi itu, tidak ada perang fisik. Yang terjadi adalah perang pikiran, yang bercampur dengan perasaan. Namun, sekali lagi, hal yang ingin disampaikan di sini, dalam situasi emosi seperti itu, nalar sehat benar-benar sering berada di belakang emosi.

Duh, gusti.............!! 

maafkanlah .....!

 

Categories: ,


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar