Tidak semua orang bisa berdiskusi. Andaipun ada yang bisa berdiskusi, namun tidak semua orang mau berdiskusi. Jika saja, semua orang mau berdiskusi, tetapi tidak semua orang terbiasa berdiskusi. Ada yang sudah terbiasa berdiskusi, namun tidak semua orang bisa efektif dalam diskusi.
Itulah persoalan kita !
Terdapat cukup banyak teman yang ada di sekitar kita. Mereka ada di sekitar kita, dan juga bisa mendampingi diri kita. Berbagai masalah mungkin bisa dicurhatkan kepada mereka, sehingga kita bisa menemukan solusi atau cara pemecahan masalahnya. Namun sayangnya, memang tidak semua orang bisa berdiskusi. Jika diajak hadir dalam satu forum, kendati Namanya kerja kelompok, namun kehadirannya tetap tidak memberikan warna yang positif. Posisinya diam, dan terdiam, hingga terasa tidak ada, atau tidak terasa kehadirannya. Alasan mereka cukup sederhana, ‘tidak bisa berdikusi’.
Bisa jadi, mereka bukan tidak
punya ide. Ide ada, untuk tidak menyebut banyak, dalam benaknya. Namun ide itu
hanya bisa dikeluarkan, bila menggunakan saluran media tetulisan atau
disampaikan secara lisan dalam sebuah perbincangan sederhana, tidak resmi ada
forum diskusi atau debat. Orang yang
seperti ini, bisa jadi, adalah orang
cerdas menulis, namun kurang cerdas dalam berdiskusi.
Lebih tinggi dari kelompok pertama ini, mereka itu sudah memiliki kemampuan berdiskusi. Persoalannnya adalah apakah mereka mau berdiskusi ? banyak orang yang bisa berdiskusi, karena sebuah pembelajaran atau Latihan, namun mereka tidak memiliki kemauan untuk berdikusi.
Alangkah indahnya, jika memiiliki
kemampuan berdiskusi, didukung dengan kemauannya berdiskusi. Orang yang serupa
ini, andai belum memiliki kemampuan
diskusi pun, dapat diyakin dalam proses ke depannya, akan menjadi pencari
kebenaran yang baik melalui media diskusi. Lantas bagaimana jika dia tidak mau
berdiskusi ? jawabannya, adalah perlu pemotivasian supaya dapat mengembangkan keterampilan berbahasa dan bisa
berdiskusi.
Dengan pemotivasian yang baik, diharapkan muncul kesadaran dan kemauan untuk berdiskusi. Kemauan berdiskusi ini, diharapkan kemudian menjadi sebuah kebiasaan berdiskusi. Bisa jadi, dan boleh jadi, tiada hari tanpa diskusi. Seseorang yang sudah memiliki kebiasaan dan jadwal pembiasaan diskusi, akan melahirkan budaya baru dalam kehidupannya, yaitu biasa berdiskusi.
Di lingkungan madrasah, kadang
suka dipusingkan pula oleh anak-anak OSIS (organisasi siswa intra sekolah).
Mereka hadir sesuai kebutuhan madrasah (sekolah). Namun, dalam prakteknya,
mereka itu hobi diskusi, walaupun hasil yang didiskusikannya bersifat
sederhana, atau malah mungkin ecek-ecek.
Kita sebut masalah ecek-ecek. Karena, masalah yang disampaikannya itu, adalah masalah yang sama dengan tahun seebelumnya, dan selanjutnya masalah tidak berkaitan langsung dengan Pelajaran yang sedang dihadapinya. Namun hal yang luar biasanya, mereka bisa mendiskusikannya dalam waktu yang Panjang, dan konon menurut para peserta diskusi, diskusinya seru dan ramai banget. Salah satu diskusi yang seru, yaitu terjadi perdebatan Panjang yang memakan waktu yag lamam walaupun masalah yang didiskusikan sekedar, ‘jika kelas kita juara, maka apa yang akan dilakukannya ?”
Terakhir dari kelompik ini, yaitu
terbiasa berdiskusi secara berkualitas. Inilah yang penting dan perlu
dibudayakan di madrasah (sekolah). Diskusi yang berkualitas, tidak mengandalkan intonasi, dan panjang pendek narasi, namun lebih mengacu pada substansi atau esensi dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Bisa jadi ada forum yang mendiskusikan banyak hal, namun pertanyaan pokoknya, adalah apa rekomendasi pemikiran dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Inilah yang kita sebut, diskusi berkualitas itu, berorientasi pada solusi.
0 comments:
Posting Komentar