Just another free Blogger theme

Rabu, 06 Desember 2023

Ada satu gejala unik, dan menarik di era sekarang ini. Dimanapun, kita berada, kita akan dapat menemukan satu paradoks. Paradoks sosial, budaya, dan juga paradoks-keruangan.

Paradoks budaya, dengan mudah kita melihat, ada anak-anak kecil dengan permainan gadgetnya, dan juga orangtua dengan permainan anak-anak. Tidak asing, dan bukan hal yang baru, bila kita melihat anak kecil main gadget, dan malah anak remaja atau orangtua, nonton kartun. Kartun anak-anak, yang biasa disaksikan bersama di masa kecilnya. Itulah paradoks budaya.


Seiring itu, muncul pula paradoks sosial. Dengan adanya media sosial, masyarakat kita malah menjadi penyendiri. Dengan adanya teknologi komunikasi, manusia menjadi minim dalam komunikasi. Hal itu, berbeda terbalik dengan zaman sebelumnya. Saat teknologi komunikasi terbatas, bahkan cenderung tidak ada, manusia intens melakukan komunikasi diberbagai tempatnya. Situasi ini, amat sangat terbalik dengan situasi saat ini.

Hal unik yang terjadi, apakah ini, kelanjutan atau penggenapan. Hari ini, muncul paradoks ruang, paradoks tempat tinggal.

Orang desa banyak yang melakukan healing atau wisata ke perkotaan. Sementara orang kota, melakukan wisata atau healing ke pedesaan, bahkan sampai ke pelosok pegunungan, yang entah siapa, yang pertama menyentuhkanya. Namun itulah, kenyataan hidup, dan situasi kehidupan saat ini.

Orang desa, semakin getol dan bergairah, membangun ruang hidupnya, atau tempat tinggalnya dengan gaya-gaya modern, bahkan futuristik. Kita dengan mudah, bisa menemukan bangunan pribadi atau rumah, dan perkantoran di pedesaan, yang sudah menggunakan gaya futuristik.  Bangunan dengan berbahankan material kota dan modern, hadir dan berdiri megah di pedesaan.

Begitu sebaliknya, fenomena rumah dan perumahan di perkotaan, mulai memunculkan suasana dan adat daerah. Rumah makan dengan gaya pedesaan, rumah dengan gaya-tradisional, atau gedung dan perkantoran dengan nuansa adat. Gejala ini, bukan lagi muncul di pedesaan, melainkan muncul di perkotaan. Dalam konteks itulah, kita melihat ada satu gejala baru dalam konteks kenampakkan ruang. Gejala yang kita maksudkan itu, adalah gejala interseksi-spasial. 

Interseksi, sebuah istilah yang kita pinjam dari kajian sosiologi. Makna interseksi, yaitu saling tukarnya nilai, atau budaya dari satu ruang kepada ruang lain. Interseksi spasial adalah persilangan karakter, budaya, nilai dan artefak antara satu ruang dengan ruang lainnya. Saat kita bisa menemukan ada nilai atau budaya ruang desa di perkotaan, dan atau ruang kota yang tumbuhkembang di pedesaan, maka di situlah kita melihat ada gejala interseksi spasial.

Mengapa hal itu terjadi ? 

Setidaknya ada lima point pemikiran penting, yang bisa membantu menjelaskan gejala interseksi spasialitas. Pertama, sudah tentu, hal itu merupakan bukti nyata adanya interaksi keruangan. Karena ada interaksi antara masyarakat desa dan kota, kemudian berimbuh pula pada mengalirnya seni dan budaya dari satu ruang kepada ruang lainnya, termasuk diantaranya dari desa ke kota, dan atau sebaliknya.

Kedua, masyarakat kita, baik yang desa maupun di kota, ternyata, tidak hanya membawa karakter nilai dan  budaya, melainkan juga artefaknya. Kehadiran bangunan perkotaan di daerah pedesaan, menunjukkan ada migrasi artefak dari satu ruang ke ruang lain. Gejala ini, terjadi bukan hanya antara desa dan kota, tetapi juga antar kota dalam wilayah, satu negara atau antar kota lintas negara.

Di sejumlah negara dapat ditemukan ada istilah kampung melayu, kampung china, kampung arab, atau kampung  jawa dan lain sebagainya. Nama-nama kampung itu, hadir di negeri orang, yang dikembangkan oleh pada diaspora atau perantau. Mereka bukan hanya memindahkan anggota keluarga, nilai dan budaya, namun juga dengan ruang, tempat hidupnya sendiri. Gejala itulah yang kita sebut, migrasi ruang.

Ketiga, hadirnya ruang baru di tempat baru, akan melahirkan sebuah perubahan keruangan. Ruang Jawa di Luar Jawa, akan mendapatkan pengaruh lokasinya tersendiri. Pada konteks itu, potensi terjadinya trans-spasialitas, yaitu perubahan karakter ruang dari tempat asli ke ruang diaspora.

Keempat,  keseriusan seseorang atau komunitas untuk membangun ruang-budaya di tempat baru merupakan bentuk lain dari kesadaran ruang (sense of space) dari manusia. Dengan hal itu pula, manusia sebagai homo-geographicus, bisa bangkit dengan radikalitas-ruang-tradisional, dan bisa pula berubah mengalami proses trans-spasialitas, atau hidup berkembang biak di ruang-hidup yang baru.

Terakhir, fenomena interaksi spasial, merupakan jawaban terhadap adanya indikasi globali. Karena pekembangan teknologi dan komunikasi, manusia hidup mengglobal, namun tetap berpijak pada ruang-hidupnya sendiri. Dengan kata lain, interseksi spasial dan trans-spasial, tidak mengganggu dan mengubah manusia sebagai homogeographicus.


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar