Hari ini, saya melihat ruang tamu di tempat kerjaku, berubah lagi. Ruang tamu itu, ada di depan pusat layanan publik, resepsionis, atau di tempatku disebutnya Pusat Informasi Terpadu.
Seminggu yang lalu, kursi yang ada di ruang tamu itu, adalah kursi besi, yang biasa ada di halte atau tempat-tempat nunggu di ruang publik. Menurut informasi, oleh pimpinan kantorku, kursi itu dipindahkan ke tempat lain, dan di ruang tamu, disediakan kursi sofa yang dianggapnya lebih terhormat untuk para tamu.
Saya, sebagai pekerja di ruang itu, yang nerima saja. Maklum, dia pimpinan, dan dia yang punya kewenangan. Kami, sebagai pekerja, yang menerima adanya saja. Walaupun, memang, kadang nalar ini, tidak bisa dihalangi oleh berkomentar.
Kembali ke masalah kursi itu. Saya masih ingat, bahwa beberapa minggu sebelumnya, pernah terjadi seperti itu. Kalau dihitung-hitung, dalam satu atau dua bulan terakhir ini, kursi sofa yang semula dari ruang-pertemuan, sudah dua kali keluar masuk ke ruang tamu, di depan resepsionis. Iya, saya yakin, setidaknya dalam hitungan ingatanku yang terbatas ini, sudah dua kali keluar masuk ke ruang resepsionis atau ke ruang pertemuan.
-o0o-
Saya tidak akan memperpanjang masalah itu. Perhatian saya, justru terhadap apa yang terjadi dibalik itu semua. Izinkan, untuk berpura-pura menggunakan pendekatan semiotika-sosial. Ih, kerenkan, istilahnya. Padahal maksudnya, itu adalah mencari dan menemukan pesan atau makna dibalik gejala sosial yang terjadi selama ini, atau sekaitan dengan gejala itu.
Kita akan menggunakan, peristiwa bolak-balik kursi tamu, dari ruang tamu ke ruang pertemuan. Setidaknya dua kali bolak-balik, sesuai dengan perintah dan pikiran dari sang pimpinan tempat kerja. Gejala inilah, yang kita kedepankan, dan gejala itulah yang akan kita kembangkan analisisnya di sini.
Pertama, saya melihatnya, bahwa kejadian itu, menunjukkan adanya ketidakajegan dalam memegang prinsip, asumsi, atau keputusan dan kebijakannya. Tarohlah, jika saat pertama kali melakukan perubahan itu, dilandasi oleh sebuah asumsi, prinsip. atau kerangka teori yang diyakininya benar, sehingga kemudian mengeksekusinya dan mengubah tatanan ruang-tamu tersebut, mak sejatinya dalam satu bulan berikutnya, ternyata, semua hal itu, luntur dan digugurkannya sendiri.
Peristiwa bolak-balik antara ruang tamu dan ruang pertemuan itu, menunjukkan ketidakajegan prinsip, atau asumsi yang dipegangnya. Indikasinya jelas, seminggu yang lalu, yakin dengan asumsi itu, maka kemudian, program itu dieksekusi. Namun seminggu berikutnya, ternyata, kursi dan tatanan ruang-tamu itu, malah dibiarkan kosong, jauh lebih tidak 'terhormat' dibandingkan dengan saat ada kursi-besi yang menjadi kursi di ruang tunggu.
Sisi kedua, yang ingin disampaikan di sini, fenomena ini menunjukkan adanya ketidaksiapan eksekusi program. Taruhlah, jika keyakinan yang pertama itu, adalah batal atau keliru, dan si pemimpin kantoran itu, yakin dengan pandangannya, lantas mengapa kursi itu dipindah secara bolak-balik ? jawabanya, sederhana dan polosnya, karena "kita belum punya, kursi pengganti untuk di ruang pertemuan, maka saat dibutuhkan kembali, lebih baik dipindahkan kembali..."
Sekali lagi, jika jawaban kedua ini, benar, maka setidaknya ada dua hal mendasar yang menyelubungi masalah itu. Selimut pertama, menunjukkan adanya ketidaksiapan dalam mengganti perubahan, dan selimut kedua, hasrat merubah jauh lebih mengemuka dibanding dengan hasrat memperbaiki. Andai saja, seorang pemimpin hobinya, asal ubah, asal ganti, asal beda, tetapi tidak memiliki alternatif yang baru, maka tatanan lama yang sudah mapan, akan dirusak, sementara tatanan baru tidak terwujud karena tidak siap konsep.
Nah, lho, kalau begitu, apakah sikap pemimpin dan gaya kepemimpinan itu, sangat kita dambakan !
0 comments:
Posting Komentar