Presiden Venezuela, Hugo Chavez, kalah dalam pemungutan suara yang ketat pada referendum yang akan memberikan kekuasaan baru kepadanya dan menghapuskan pembatasan masa jabatan pemerintah sayap kirinya. Badan Pemilihan Nasional, Senin (3/12/07), mengatakan kelompok yang menolak meraih 51 persen suara sedangkan dengan kelompok yang setuju yang pro-Chavez memperoleh 49 persen suara. Kekalahan Hugo Chavez di Venezuela dari masyarakatnya tentang referendum dokumen pengangkatan dirinya sebagai presiden seumur hidup, menarik untuk dicermati dengan baik. Dari pelajaran dan sejarah Chavez dapat dilihat satu gerak perubahan nyata mengenai perhatian dan aspirasi manusia.
Tepat kiranya, bila ada pihak yang mengatakan bahwa Venezuela bukanlah stereotype yang ideal mengenai masyarakat sosialis dengan ideologi sosialis. Masih ada masyarakat lain yang bisa dikategorikan lebih relevan untuk dijadikan referensi kajian mengenai tumbuhkembangnya ideologi sosialisme di dunia. Namun dengan alasan (a) Presiden Chavez merupakan salah satu presiden yang sempat populer di awal millenium III, khususnya ditandai dengan keberaniannya melakukan perlawanan terhadap hegemoni Amerika Serikat, (b) masyarakat Venezuela masih berada dalam suasana euporia politik dan mendamba satu tatanan politik yang baru. Selain kedua alasan tersebut, Chavez memang secara terang-terangan dan terbuka untuk mengantarkan negaranya menuju masyarakat yang sosialis. Ketiga alasan inilah yang dijadikan sebagai asumsi untuk menjadikan peristiwa tersebut sebagai salah satu bagian dari analisa mengenai kebutuhan bangsa kita (Indonesia) ke masa depan.
Dari peristiwa penolakan warga negara Venezuela
terhadap dokumen referendum yang diajukan Pemerintah menunjukkan fenomena
politik yang menarik di masyarakat sosialis.
Pertama, dalam batasan tertentu, kekaguman
terhadap presiden tidak mesti menutup sikap
kekritisan diri terhadap kebijakan negara. Keyakinan terhadap nalar yang
sehat dan tantangan masa depan menjadi bagian dari pertimbangan yang harus
digunakan rakyat. Ketidakmelekan rakyat terhadap kepentingan tersembunyi (hidden agenda) dari sebuah kebijakan,
masyarakat atau negara dapat terjerat pada ‘lingkaran’ kepentingan penguasa.
Dengan bahasa lain, masyarakat harus tetap jeli jangan sampai lahir kebijakan
negara yang dapat melanggengkan kepentingan atau kekuasaan pribadi. Pada
konteks inilah, masyarakat Venezuela kiranya telah memiliki kemampuan yang
sehat dalam memilahkan antara kepentingan negara dengan kepentingan penguasa.
Dalam konteks ini, bangsa Indonesia pun
membutuhkan sikap kritis masyarakat terhadap aneka kebijakan publik yang rentan
dijadikan tunggana politik dan kepentingan penguasa. Secara umum, mungkin kita
masih jauh dari harapan lahirnya masyarakat yang cerdas yang mampu membedakan
kepentingan publik dengan kepentingan pribadi. Karena selama ini, kita masih
kurang peka terhadap perilaku elit politik yang menggunakan sarana negara untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kasus penjualan aset-aset negara (BUMN) di
era Megawati atau aliran dana BLBI adalah dua contoh kebijakan publik yang
tidak transparan. Kebijakan yang dilakukan penguasa pada waktu itu sangat
berimpit tipis antara kepentingan politik pribadi (kelompok) dengan kepentingan
negara. Dan pada waktu itupun, masyarakat (termasuk penulis) kurang memiliki
kepekaan yang tinggi untuk mengkritisi masalah terkait. Akibatnya, ketika
kejadian itu telah berlalu dan pihak penegak hukum menemukan ada indikasi
kecurangan, penyidikan masalah ini sangat sulit untuk dilakukan.
Kedua, hasrat manusia untuk menjadi masyarakat
sosialis tidak serta merta dimaknai adanya hasrat hidup dalam suasana
totalitarianis. Hal ini ditunjukkan masyarakat Venezuela. Di bawah kepemimpinan
Hugo Chavez mereka bergerak ke arah masyarakat sosialis. Berbagai kebijakan yang
diarahkan pada nasionalisasi dan penguatan ekonomi sosialis terus dimunculkan.
Namun di lain pihak mereka pun tetap sadar untuk menjunjung tinggi nilai-niai
kemanusiaan yang jauh dari totalitarianisme. Maka tidak mengherankan draf referendum yang
diajukan pemerintah pun mereka tolak.
Mencermati kejadian ini, mengingatkan kita pada pemahaman sosialis
dari ‘raksasa intelektual Indonesia” Soedjatmoko (2001:9) yang mengatakan bahwa
kebudayaan sosialis bersandar pada dua nilai dasar, yaitu (1) pada keyakinan
bahwa suasana bebas ialah suasana satu-satunya yang memungkinkan perkembangan
daya cipta suatu bangsa, (2) pada asas bahwa harus ada partisipasi
seluas-luasnya, baik secara pasif dalam arti menikmati buah cipta kebudayaan,
maupun secara aktif dalam arti partisipasi secara kreatif dalam mengembangkan
kebudayaan. Dua nilai dasar itulah yang kemudian disebutnya sebagai politik
kebudayaan yang positif, yang relevan dengan suasana masyarakat yang sedang
melaksanakan proses pembangunan, seperti halnya negara Indonesia.
Pemahaman sosioalis atau kebudayaan yang
positif seperti itulah yang dianggap Soedjatmoko memiliki energi bagi bangsa
itu dapat keluar dari krisis ekonomi atau keterbelakangan yang tengah
dihadapinya. Pada konteks ini, dapat dikatakan bahwa Chavez hilap terhadap
realitas kematangan politik masyarakat atau nilai universal rakyatnya.
Ketiga, peristiwa Venezuela menunjukkan ada
perubahan dan sikap kreatif bangsa dalam melakukan eksperimen nilai kebangsaan
sesuai dengan perkembangan zaman. Seseorang tidak perlu merasa takut dan
khawatir terhadap konsep-konsep atau ideologi yang sudah menyejarah dalam jagat
intelektual atau jagat politik. Perubahan dan tuntutan zaman menyebabkan
seseorang harus melakukan improvisasi pemikiran dan pembenahan penafsiran
terhadap konsep-konsep yang ada selama ini.
Fenomena yang menarik dapat dialamatkan
pula pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negeri China yang fenomenal.
Dalam hitungan jari, dari tahun ke tahun China mampu menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang
pesat. Mereka yang fanatik terhadap
sejarah konsep, akan merasa gamang melihat ‘kapitalisasi’ di negeri
sosialis-komunis, dan bagi mereka yang ‘sosialis-komunis’ merasa kaget dengan
geliatnya ‘kaum borju’ di negeri Tirai Bambu. Namun itu adalah satu kenyataan
yang hari ini tampak di depan mata.
Fenomena itu pun menghantarkan pemikiran
bahwa improvisasi pembangunan akan senantiasa terus lahir dari
individu-individu (bangsa) yang memiliki keberanian dan kreativitas tanpa harus
terjebak oleh ’kotak-kotak’ definisi yang ada. Konsep dan ideologi yang baku
hanya akan melahirkan kebekuan dalam bertindak dan berfikir.
Keempat, sebagaimana dikemukakan Chavez bahwa
kekalahannya dalam referendum tersebut diharapkan dapat meningkatkan kedewasaan
dan kematangan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Pada kemudian harinya,
dia berharap bahwa proses politik yang baru saja dilakukannya tidak menjadi
bagian dari amunisi kelompok lain untuk menggerogoti ketahanan bangsa Venezuela.
Oleh karena itu, pasca referendum ini diharapkan masyarakat kembali menjadi individu
yang siap melakukan percepatan pembangunan. Pada konteks ini, perlawanan publik
terhadap draf pemerintah bukan berarti dia anti-sosialisme yang dijadikan alat
perjuangannya. Keadaan seperti ini, tetap harus dijadikan sebagai bagian dari
dinamika politik serta kreativitas masyarakat Venezuela dalam menata masa
depannya.
Penegasan ini menjadi sangat penting untuk
proses pemantapan tatanan berbangsa dan bernegara. Baik pemerintah maupun
masyarakat harus memiliki kesadaran tentang pentingnya kreativitas kolektif
dalam membangun karakter bangsa di masa depan. Karena bila hal ini tidak dilakukan, maka negaranya
akan menjadi sebuah bangsa yang gagal dalam menata karakter bangsa.
0 comments:
Posting Komentar