Entahlah, apakah tulisan ini, menjadi bagian dari curahan hati pribadi atau menjadi sebuah tantangan masa depan. Tetapi, setidaknya, bagi teman-teman muda, yang tengah menggandrungi ragam aplikasi berbasis AI, mungkin ada yang sudah merasakannya, atau mungkin juga ada yang belum tersadarkan. Ternyata, saat kita, tengah menggunakan aplikasi di dunia digital dengan basis AI itu, ada jarak kompetensi antara kita dengan AI (artificial intelligence).
Memangnya bisa dibandingkan ?
Tidak. Kita tidak bermaksud untuk membandingkan. Karena, andai dibandingkan pun, sudah tidak sebanding. Sangat tidak sebanding.
Perhatikan saja, kejadiannya. Saat kita menggunakan aplikasi Bing.com, atau Leonardo.ai, atau midjourneyai, maka aplikasi-aplikasi itu dapat membuat sebuah foto atau lukisan dengan waktu hitungan detik. Bahkan, membuat video pun, dalam waktu hitungan detik. Atau, saat membuat naskah pun, hanya dalam waktu hitungan detik. Waktu yang dibutuhkan oleh mesin AI itu, sangat cepat dibandingkan dengan kemampuan manusia mengerjakan hal serupa.
Sebagai orang yang terbiasa menulis, saya pun, kelabakan. Hanya untuk menulis artikel pendek di blog ini saja, bisa menghabiskan waktu puluhan menit. Sementara Chat GPT, dapat melakukannya hanya dalam waktu hitungan detik.
Lha, kalau demikian adanya, maka mana mungkin kita bisa membandingkan antara kompetensi kita, dengan aplikasi betbasis AI.
Lantas, apa masalahnya dengan tema yang diajukan di sini ? apa masalahnya dengan jarak kompetensi antara AI dengan diri kita ?
Terkait hal ini, setidaknya ada beberapa kategori pemikiran yang bisa disampaikan di sini. Pertama, ide atau imajinasi manusia, bisa diterjemahkan ke dalam produk digital. Dalam konteks ini, produk digital dari aplikasi berbasis AI mampu menerjemahkan imajinasi manusia.
Kedua, imajinasi manusia lebih sederhana dibandingkan produk digital. Ketika perintah dari imajinasi manusia sangat sederhana, atau prompt yang dituliskannya sangat sederhana atau umum, aplikasi digital mampu membuat karya yang lebih luas bahkan tak terduga oleh manusia sebagai pemerintahnya. Bahkan, memang biasanya, minalnya satu karya digital ditampilkan, dan maksimalnya 4 buah karya, itulah yang bisa kita lihat di bing.com, begitu pula dengan jumlah gambar maksimal yang disedikana midjourneyai, yaitu hanya 4 buah. Sementara di leonardo, bisa sampai 8 buah alternatif karyanya.
Ketiga, karya digital lebih kompleks daripada imajinasi manusia sebagai pemerintahnya. Unik memang, k adang kita, sebagai pemberi perintah, malah dikagetkan dengan hasil yang luas biasa dari aplikasi tersebut. Produk aplikasi itu, diluar dugaan, bahkan kadang di luar 'nalar' manusia normal. Tetapi itulah kenyataannya, bahwa kompetensi digital dari aplikasi berbasis AI, mampu melampaui kemampuan manusia rata-rata.
Namun sebagai bentuk kebanggaan diri sebagai manusia, sampai detik ini, AI masih bekerja secara prosedural sebagaimana yang dikirimkan dalam logika algoritmis ke dalam mesin sistem yang dimilikinya. Tanpa ada kiriman kode atau perintah itu, maka mesin cerdas itu belum bisa berkembang. Setidaknya, sampai tulisan ini dibuat, imajinasi sampai pada fase ini, baru adalam sinematika. Belum mewujud menjadi kenyatan.
Di lain pihak, manusia secara organik, secara naluriah, memiliki mimpi dan imajinasi liar dan tak terbatas. Ada kecerdasna berbasis stimulasi dari data empirik (prompt dari luar), tetapi ada satu kecerdasan manusia yang hadir dan tumbuhkembang dari 'kecerdasan internalnya' (instink, ilmu laduni, atau ilmu khuduri, atau ilham, atau nama lain untuk hal seperti itu).
Sampai titik ini, manusia masih tetap unggul.....semoga kebanggaan ini, akan tetap abadi untuk selamanya !
0 comments:
Posting Komentar