Just another free Blogger theme

Kamis, 25 Juli 2013



Untuk mewujudkan cita-cita, kita dituntut untuk memanfaat setiap peluang yang ada.  Begitu pula sebaliknya, jika disaat peluang ada, tetapi tidak dimanfaatkan, bisa jadi sikap itu merupakan contoh nyata dari tindakan yang menzalimi diri sendiri.



Pagi ini, berkesempatan untuk memberikan penjelasan dihadapan jama’ah shalat subuh Masjid Al-Ishlah belakang rumah. Kegiatan ini, rutin dilaksanakana  bada subuh.  Kuliah dengan durasi sangat singkat. Entah tujuh detik, entah tujuh menit, atau entah tujuh puluh menit.  Durasinya cenderung diserahkan kepada si pembicaranya sendiri.  Terserah berapa menit saja yang dimanfaatkannya. Hanya saja, namanya sudah ditegaskan yaitu kultum.

Di pagi ini, diingatkan dengan sebuah pepatah, yang mengatakan ‘tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya adalah mustajab, dan pahala amalannya pun akan dilipatgandakan’ (naumu shoim ibadah, sum’atun tasybih, dua’uhu mustajab, wa amaluhu mudhoif). Saya sebut pepatah, tidak disebut hadist. Karena memang, menurut para ahli hadits, status pernyataan itu, dikategorikan sebagai hadist lemah (dhoif). Karena, saya bukan ahli agama, apalagi ahli hadist, maka ungkapan yang baru saja disebutkan itu, kita sebut saja, sebagai sebuah pepatah.

Tidak jauh dengan kekayaan folklore masyarakat. Di negara kita, ada pepatah berrakit-rakit ke hulu, berrenang-renang ke tepian, atau bhinneka tunggal ika, atau ada istilah silih asah-silih asih-silih asuh.  Ungkapan itu bukan hadist, tetapi memiliki kandungan makna yang bermanfaat dalam menjelaskan sebuah kenyataan.

Semakna dengan hal itu pulalah, saya melihat bahwa tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya adalah mustajab, dan pahala amalannya pun akan dilipatgandakan’, adalah sebuah pepatah yang memberikan gambaran mengenai perilaku kita. Apapun yang kita lakukan, pada dasarnya adalah sebuah pilihan. Milih tidur, diam, berdoa atau beramal ? semua itu adalah pilihan. Sementara sebuah pilihan bergantung pada persepsi, dan persepsi yang dibarengi tindakan akan menjadi bagian dari kepribadian kita.

Secara sederhananya, jika kita memang  memiliki kemampuan memillih yang terbaik, mengapa harus memilih yang buruk ? jika kita memiliki kemampuan untuk melakukan amal sholeh, mengapa harus tidur melulu ?

Adalah Johan Galtung, yang memberikan paparan teoritis bagi kita mengenai tindak kekerasan. Menurut pandangan Johan Galtung (Windu, 1992:64),  kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.[1] Dengan kata lain,  sebuah perilaku bisa disebut tindak kekerasan bila tidak melakukan apa yang kuasa dirinya lakukan dengan baik. Bila pemerintah membiarkan kerusuhan dan konflik sosial berlama-lama, sesungguhnya pemerintah sudah melakukan tindak kekerasan !

Begitu pula dengan kita, saat peluang ibadah terbuka, waktu leluasa, dan peluang meraih yang terbaik ada, malah mengambil pilihan yang rendah dan buruk, yaitu tiduran saja, maka orang tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai  melakukan tindak kekerasan terhadap diri sendiri !
seorang bapak, dengan kekayaan yang melimpah, dan kepemilikan kendaraan yang terus bertambah, tetapi malah tidak mau menyekolahkan anaknya, adalah contoh lain dari tindak kekerasan.
jika ada peluang optimal, mengapa harus minim  ?
jika ada peluang baik, mengapa harus mengambil jalan buruk ?


[1] I Marsana Windu. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Jogjakarta : Kanisius.
Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar