Mogok makan, memaksa orang lain (Tuhan) untuk tunduk memenuhi keinginannya, sedangkan puasa ramadhan adalam memaksa diri untuk mengabdi kepada orang lain dan kepada Tuhan.Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa, (Qs. Al-Baqarah :
183)
Dalam sebuah acara Rumah Perubahan, disela-sela dialog Rhenald Kasali (edisi, 16/07/2013) dengan Diajeng Lestari dari HijUp.com, pakar Manajemen tersebut mengajukan pertanyaan “ apa perbedaan antara mogok makan dengan puasa ?”. Pertanyaan yang menarik, dan perlu mendapat cermatan dengan seksama. Sepintas dan selayang pandang, menyimak penjelasannya itu, saya - sekedar penyimpulan pribadi, menangkap bahwa beliau menegaskan bahwa puasa itu lebih memaksa diri untuh Taat kepada Tuhan, sedangkan mogok makan memaksa Tuhan untuk “tunduk” memenuhi kepentingan dirinya.[1]
Jawaban kritis dan berupaya untuk mengajak kita pada sisi esensi sebuah
tindakan. Namun, karena penjelasan itu
pula, kita pun bisa terangsang lagi untuk mencoba menelaah lebih lanjut
mengenai hal ini. Karena, persoalan ini adalah bagian dari masalah sosial yang
bisa muncul kapan saja.
Kita sudah maklum, bahwa dalam proses sosial politik, mogok makan merupakan salah satu dari tradisi gerakan politik. Sikap pemerintah yang acuh terhadap asupan aspirasi dari masyarakat, dan masyarakat memandang pemerintah sudah tidak bisa diajak bicara lagi, kemudian gerakan masa untuk mogok kerap ditempuh. Jalur ini, bisa beragam bentuk, bisa mogok bicara atau mogok kerja. Jenis-jenis mogok yang lainnya, bisa muncul secara kreatif dikembangkan oleh para demonstran. Salah satu trend gerakan sosial politik itu adalah gerakan mogok makan.
Tidak ada ketentuan pasti, berapa hari harus mogok makan, dimana lokasinya,
dan berapa orang yang menjalani prosesi mogok makan tersebut. Batasan umum lamanya
mogok makan yang mereka lakukan, yaitu sampai dikabulkannya tuntutan mereka. Adapun
jumlah pelakunya, bisa satu orang, bisa pula dalam jumlah besar. Tempat dilaksanakannya,
bisa ditempat umum atau ditempat khusus yang bisa dijangkau oleh perhatian
publik.
Karena kurang mendapat informasi tambahan selain jawaban yang dikemukakan Rhenal Kasali tersebut, rasanya perlu dikembangkan kembali mengenai perbedaan antara mogok makan dengan puasa.Dari sisi nilai, sudah tentu, mogok makan adalah tindakan rasional intrumental. Tindakan mogok makan adalah tindakan rasional instrumental untuk kepentingan politik. Mogok makan adalah upaya untuk unjuk rasa dan unjuk kekuatan dihadapan pemangku kekuasaan. Hal itu berbeda dengan shaum ramadhan. Puasa ramadhan itu adalah tindakan berorientasi nilai, dengan maksud untuk meningkatkan kualitas kemampuan diri, khususnya dalam konteks keagamaan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.
Pelaksanaan mogok makan cenderung melakukan penyiksaan terhadap fisik. Tidak
ada batasan waktu, jenis makanan, dan lamanya gerakan mogok tersebut. Sementara
amalan shaum ramadhan adalah tindakan yang dilandasi pada aturan main yang
jelas, dan masih menghargai hak-hak tubuh. Dengan kata lain, aspek kesehatan
dalam shaum masih diperhatikan dengan tegas, dan hal itu berbeda dengan gerakan
mogok makan yang dilakukan oleh gerakan sosial politik.
Mogok makan adalah upaya membangun keprihatinan orang lain, dan penguasa terhadap penderitaan atau hak-hak kelayanan diri. Sementara shaum ramadhan, adalah instrumen refleksi untuk membangun simpati dan empati diri kepada orang lain. Dalam mogok makan berupaya untuk menyentuh gerakan sosial dan emosional publik untuk mengoreksi penguasa, sedangkan shaum ramadhan adalah gerakan spiritual untuk mengoreksi kualitas spiritual diri. Dalam konteks ini, kita melihat sebuah perbedaan nyata, yang muncul antara amalan shaum ramadhan, dengan gerakan mogok makan.
Saya secara pribadi, tidak
menutup mata, bahwa pada dasarnya shaum ramadhan pun adalah gerakan spiritual
untuk “memaksa Tuhan” untuk memberkati hamba-Nya. Hanya saja, siklus
tindakannya tidak dilakukan secara langsung. Siklus tindakannya itu adalah Tuhan
memberkati hamba-Nya, selepas hamba-Nya tersebut mampu memperbaiki diri dan menunjukan
laku hidup sehari-hari yang bermanfaat bagi lingkungan atau masyarakat sekitar.
Berdasarkan hal itu, maka shaum ramadhan pun dapat dinyatakan sebagai tindakan orientasi nilai. Karena sesungguhnya, tindakan itu bukan melulu berbuat bagi pada sesama, atau memperbaiki kualitas dan karakter diri, tetapi juga adalah bentuk peribadahan kepada Allah Swt.
[1] Informasi tertulis, jawaban Rhenald Kasali ini,
dapat dilihat pada https://twitter.com/Rhenald_Kasali,
tanggal 9 Juli.
0 comments:
Posting Komentar