Just another free Blogger theme

Jumat, 19 Juli 2013



Ramadhan adalah gambaran diri kita. Sayangnya, cermin ini memaksa kita untuk melihat diri secara paradoks. Banyak peluang, tetapi tidak dimanfaatkan. Ada kemudahan malah mempersulit diri. Banyak impian tak kuasa mewujudkannya. Terbuka jalan ke surga, malah balik ke jalan lain. Tertutupnya pintu neraka, malah dipaksa ingin melihatnya.




Banyak yang paradoks, bertolak belakang atau patojaiah antara apa yang kita lakukan saat ini, dengan apa yang dilakukan para sahabat di masa lalu, atau antara apa yang kita lakukan dengan apa yang seharusnya terjadi.

Zaman Rasul dulu, para sahabat itu menangis bila ramadhan kian mendekati waktu akhir. Mereka takut kehilangan kesempatan bertemu ramadhan kembali, dan kehilangan momentum untuk meraih nilai hidup yang berlipat. Karena itu, tidak mengherankan bila di akhir ramadhan, para sahabat masa lalu bekerja keras, dan kian meningkatkan ibadahnya. Bukan sekedar ingin mendapatkan atau kedapatan lailatul qadr, tetapi memanfaatkan kesempatan ramadhan yang kia menipis.
Sementara kita, setelah datang lebaran atau syawal, malahan bergembira. “Alhamdulillah lebaran tiba, kita tidak akan disibukkan lagi dengan tarawih...”, atau menggunakan kalimat yang berbeda, “bebas euy, sekarang mah tidak puasa lagi....”

Rasulullah Muhammad Saw sudah mewanti-wanti,  mengingatkan bahwa pada hitungan sepuluh hari terakhir ramadhan, mengenai adanya malam kemuliaan yang disebut lailatul qadr.  Karena itu pula, kepada umatnya diharapkan untuk meningkatka keimanan dan ibadahnya kepada Allah Swt.
Zaman Rasul, para ulama, atau salafush shalih, banyak yang memanfaatkan situasi  ini dengan i’tikaf. Bahkan, menurut sebagian penelaah sejarah Nabi (shirh Nabi), di awal ramadhan Rasulullah  berusaha keras untuk mendapatkan bekal ramadhan dan idul fitri. Di minggu-minggu pertama, bekerja keras untuk mendapatkan bekal makanan selama ramadhan. Target yang diinginkannya, yaitu di akhir ramadhan, sudah ada bekal untuk makan, dan bisa khusyu beribadah. Zaman kita ini malahan terbalik. Awal ramadhan santai. 
Di akhir ramadhan, kita sibuk memikirkan THR atau kebutuhan lebaran. Di awal ramadhan, kita rajin bertarawih, sementara di akhir ramadhan kita disibuk di mall atau pusat perbelanjaan.  Akhirnya, boro-boro bisa itikaf atau mendapatkan lailatul qadr, yang ada pun malahan di hari itu banyak yang mengalami lailatul keder (keder dalam bahasa Sunda : bingung) atau  malam-malam yang membingungkan, karena harus memikirkan kebutuhan lebaran.
Hal uniknya lagi, yaitu terkait dengan masalah zakat. Zakat itu, dimaksudkan untuk orang-orang yang memang berhak menerimanya, diantaranya yaitu fakir, miskin, amilin (pengurus), ghorim (punya utang), riqob (budak atau hamba sahaya), mualaf (orang yang baru masuk islam atau lemah iman), ibnu sabil (orang yang sedang belajar atau pejuang).
Ada seorang PNS, betul dia itu adalah muslim mu’alaf. Maksudnya, pada saat lahir sampai usia 20 tahunan, dia itu adalah non muslim. Tetapi sekarang sudah hampir 16 tahunan menganut agama Islam, dan sudah berstatus PNS golongan III/b. Sayangnya, sampai saat ini, masih merasa mualaf, dan juga masih tetap merasa berhak untuk mendapatkan zakat.
Tanpa ada latar belakang aktivis atau pengurus masjid,. Di akhir ramadhan ini, ujug-ujug banyak juga yang menjadi pengurus zakat di masjid. Walaupun ujung-ujungnya sangat mudah ditebak, yaitu untuk mendapatkan bagian zakat dari sektor amilin (pengurus masjid). Menjadi pengurus itu, katanya, selain mendapatkan zakat juga tidak berhak mengeluarka zakat.
Tidak jauh berbeda dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dikeluarkan pemerintah, di akhir ramadhan ini pun ujug-ujug banyak juga yang mengaku fakir miskin. Walaupun sekedar beberapa butir beras atau beberapa lembar rupiah, mereka rela berantri-antri untuk mendapatkannya.
Entah apa yang ada dipikirannya. Sekolah pun tidak serius. Prestasi pun tak ada. Bahkan, entah apa niatnya bersekolah. Namun, mengetahui adanya zakat untuk para pelajar atau ibnu sabil, walaupun dirinya belum tentu berjuang untuk menegakkan Islam, masih juga rela antri mendapatkannya.
 Dalam kaitan ini, kita tidak mau membicarakan masalah ghorimin atau yang banyak utang. Karena kalau yang ini dibicarakan, saya khawatir banyak PNS perlu mendapatkan zakat, karena banyak diantara golongan ini yang menggadekan SK-nya di bank negara. Banyak juga pengusaha yang berhak mendapatkan zakat, karena mereka pun menunggak utang pajak kepada negara. Bahkan, seluruh warga negara Indonesia masih berhak mendapatkan zakat, karena negeri ini pun masih memiliki banyak utang.
Di awal-awal ramadhan, atau dalam pemahaman umum kita, ramadhan kerap diartikan sebagai bulan latihan. Latihan berpuasa, latihan membaca al-Qur’an, atau latihan shalat malam.  Setiap muslim masuk ke PUSAT PENDIDIKAN DAN LATIHAN (Pusdiklat) Ramadhan selama satu bulan penuh. Bila dilihat kondisi akhir di masyarakat. Tampaknya pemahaman ini jauh berbalik.  Kalau ramadhan di artikan sebagai Pusdiklat, maka selepas dari masa pendidikan itu, kita memiliki kemampuan yang lebih.  Bukan malah menyebabkan kita balik lagi ke masa lalu.  Ini pun adalah paradoks sikap hidup kita.
Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar