Niat diantara kita bisa jadi sama, yaitu meramaikan hari-hari ramadhan dan lebaran. Maksud kita sama, yaitu turut berbahagia dalam merayakan hari lebaran dan ‘memeriahkan perayaan hari kesucian’. Tetapi, kita semua paham, nilai acuan yang sama, namun mengandung kepentingan yang berbeda,
dan berbeda dalam komoditas nilai yang ditransaksikan. Itulah fenomena yang terjadi, fenomena unik di
minggu ke dua hingga ahir ramadhan di kota-kota di Indonesia.
Bagi kita yang tengah berpuasa di bulan ramadhan. Bisa jadi, pada hari-hari pertama kita masih khusus dan serius menjalankan ibadah shaum ramadhan. Pada minggu pertama, orientasi ibadah kepada Allah Swt, masih sangat kuat dirasakan dalam diri ini.
Lain halnya dengan hari-hari menjelang minggu kedua. Sebuah keluarga,
seperti yang terjadi pada keluarga saat ini. Pikiran mengenai hari lebaran
sudah mulai menghantui. Sendal baru buat anak. Sepatu baru buat anak. Pakaian baru
buat anak. Makanan khusus buat hari lebaran. Atau ada juga pertanyaan, mengenai
agenda rekreasi di libur lebaran. Pertanyaan dan impian itu, mulai menghantui
warga muslim di minggu-minggu kedua ramadhan.
Sudah jadi tradisi lebaran di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia untuk berusaha semaksimal mungkin tampil dengan pribadi baru dan pakaian baru. Karena itu, tidak mengherankan, bila pada minggu-minggu kedua ini, pusat perbelanjaan (shopping center) sudah mulai dipadati pengunjung. Mereka hadir dengan ‘visi nilai yang sama’, yaitu memakmurkan perayaan hari lebaran.
Produsen, distributor dan konsumen, memiliki kepentingan yang berbeda. Tetapi,
visi interaksi atau komunikasi industrialnya diselaraskan sama, dengan
orientasi nilai yang normatif, ‘memeriahkan perayaan hari kesucian’. Nilai acuan yang sama, tetapi beda kepentingan,
dan beda yang ditransaksikan. Itulah fenomena yang terjadi, fenomena unik di
minggu ke dua hingga ahir ramadhan di kota-kota di Indonesia.
Fenomena itu bukanlah fenomena baru. Fenomena itu adalah fenoman tahunan. Sebagai sebuah fenomena rutin, potensial akan melahirkan sebagai sebuah formalitas budaya. Sementara formalitas budaya, yang dilakukan secara rutin berkala, potensial melahirkan pembekuan dan kekakuan makna. Bila tidak ada momentum untuk melakukan refleksi, formalisme tahunan, yang bisa disebut budaya lebaran dengan budaya baju barunya, akan kehilangan makna.
Sesungguhnya, khutbah idul fitri, hendaknya, benar-benar bisa dijadikan
sebagai momentum refleksi mengenai berbagai hal yang terjadi, dan sekaligus
merenungkan mengenai perubahan diri selama ini. Termasuk masalah tradisi-tradisi atau
budaya-budaya yang hadir di tengah masyarakat yang tengah berpuasa tersebut.
0 comments:
Posting Komentar