Pengendalian diri artinya sabar menunggu waktu, tempat dan maksud yang tepat dalam melakukan sesuatu. Lebih meningkatkan pelayanan padahal dirinya adalah pemimpin. Meningkatkan pemberian, padahal masih ada sejumlah kebutuhan. Tidak melakukan sesutu, padahal dia kuasa untuk melakukannya. Itulah yang disebut pengendalian diri, atau mengendalikan hawa nafsu.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Qs. Al-Baqarah : 183)
Satu istilah yang bisa jadi, sangat populer di bulan ramadhan ini, yaitu hakikat puasa di bulan suci ramadhan adalah pengendalian diri. Puasa di bulan suci Ramadhan adalah saatnya bagi setiap muslim untuk berupaya mengendalikan diri atau mengendalikan hawa nafsu.
Kendati demikian, kadangkala, sesering orang menceramahkan mengenai hakikat
puasa ini, sesering itu pula kita lupa mengenai maksud dan cara menerapkannya.
Karena itu pula, tidak mengherankan, bila kemudian, selepas mendengarkan
khutbah tarawih, kita kembali ke tradisi masa lalu, dan kembali khilaf dengan
maksud untuk mengendalikan hawa nafsu tersebut.
Bagi kita saat ini, bila makna hawa nafsu itu diartikan sebagai emosi, maka yang dimaksudkan dengan ramadhan itu adalah upaya untuk mengendalikan emosi. Sebagai seorang muslim, kita tidak boleh hidup hanya dikendalikan oleh emosi, atau hawa nafsu semata. Tingkah laku dan perbuatan kita, hendaknya adalah sebuah laku lampah yang terkontrol secara sadar oleh diri sendiri, dan bukan oleh emosi atau hawa nafsu.
Saat kita melihat, tetangga membeli
pakaian baru. Hati kita merasa panas, sakit hati, dan cemburu. Hati-hati dengan
perasaan ini. Bisa jadi, perasaan itu bisa menyentuh emosi kita, dan kemudian
menjadi awal kekuasaan hawa nafsu yang mengendalikan diri kita. Karena, dengan perasaan itu, kemudian bisa
berlanjut, kita lupa diri, apapun akan dilakukan, yang penting bisa beli baju
baru.
Salah satu ciri dari tindakan emosional, dan dikendalikan hawa nafsu, adalah tindakannya tidak jelas arah, dan cenderung berlebihan. Baju yang lain masih pada bagus, bahkan baju untuk lebaran sudah beli satu set. Tetapi, karena ada model baru yang baru keluar, kemudian membeli lagi. Hati-hati, jika baju baru itu sudah berlebih, dan kurang penting, maka perbuatan kita bisa jadi dikendalikan oleh hawa nafsu.
Hape kita masih baru, dan bahkan termasuk ponsel terbaik dalam bulan lalu.
Karena mau lebaran, dan muncul hape serial terbaru, kemudian kita bernafsu
untuk membelinya, dengan maksud supaya gaya. Sikap dan mental itu, adalah
tindakan hawa nafsu.
Sekali lagi, tindakan yang dikendalikan hawa nafsu itu, diantaranya cirinya adalah menggunakan emosi, tidak jelas makna dan tujuannya, serta berlebihan. Sifat-sifat seperti itulah, yang kemudian perbuatan dan tindakannya itu, menjadi kurang bermanfaat.
Terkait hal ini, melalui bulan suci ramadhan, kita diajak untuk bisa
berfikir, dan bertindak bukan berdasarkan hawa nafsu. Melalui bulan suci
ramadhan, kita dikondisikan untuk bisa bertindak tidak berdasarkan hawa nafsu,
tetapi berdasarkan akal fikiran.
Aqal, sebagaimana banyak diulas para ilmuwan, adalah ciri dasar manusia. keunggulan manusia diukur dari kualitas pemanfaatan akalnya. Oleh karena itu, kualitas dan kemulian seorang muslim, akan tampak dilihat dari aspek pemanfaatan akal pikirannya dalam melakukan sebuah tindakan.
Makan kita, dalam 24 jam, atau seharian penuh, renungkan dengan
sebaik-baiknya. Apakah makan kita selama ini, sudah menjadi bahan pertimbangan
akal pikiran atau hawa nafsu ? kenapa harus ngemil, karena ternyata dengan
makan dua kali sehari pun, kita tetap bugar dan sehat ?
Tidur. Tingginya jumlah jam tidur kita selama ini, apakah sebuah kebutuhan, apakah sesuatu yang perlu ? ternyata, melalui ramadhan, jumlah jam tidur itu bisa dikurangi, dan pikiran kita serta kegiatan kita masih bisa tetap berjalan dengan baik. Dengan kata lain, banyaknya jumlah jam tidur kita selama ini, apakah sudah menjadi pertimbangan akal pikiran, atau hawa nafsu semata ?
Kendaraan. Setiap orang butuh alat transportasi. Pertanyaan, apakah
hadirnya kendaraan itu, karena merasa gengsi oleh tetangga, merasa malu oleh
tetangga, atau merasa ingin dihormati oleh tetangga ? bila demikian, tanya
dalam diri sendiri, apakah keputusan untuk membeli kendaraan tersebut, adalah
hasil pertimbangan manfaat atau gaya-gayaan ? renungkan dengan sebaik-baiknya,
apakah kepemilikan terhadap kekayaan itu adalah karena alasan yang masuk akal,
dan kesadaran sendiri, atau karena dorongan emosi ?
Jangan mengambil keputusan saat kita emosi, karena saat itu, kebenaran dan kebaikan masih tersembunyi di balik tirai kelemahan !
Renungkan dengan sebaik-baiknya. Ternyata, selama ini, hidup kita jauh
lebih banyak dikendalikan hawa nafsu, daripada dikendalikan oleh kesadaran kita
sendiri. Sementara, kualitas dan kemuliaan manusia tidak diukur dari hawa nafsunya melainkan dari kemampuannya memaksimalkan kesadaran
dan akal pikirannya sendiri !
0 comments:
Posting Komentar