Sudah menjadi sebuah pengetahuan umum, pada bulan ramadhan banyak penceramah bertutur tentang kisah yang bersandar dari ajaran Islam bahwa di bulan suci ramadhan ini syetan-syetan dibelenggu dan pintu syurga dibuka lebar. Tema ini merupakan tema yang cukup mashur disampaikan para khatib dalam mimbar ceramah tarawihnya. Bagi masyarakat umum ada yang merasa tertarik dengan cerita seperti ini. Terlebih lagi masyarakat kita yang sedang gandrung dengan film-film bernuansa ”dunia lain” atau mistik-mindset. Implikasi selanjutnya dari mindset ini, memunculkan reaksi yang sangat beraneka ragam.
Ada yang mengatakan, ”udah jangan judi lagi, percuma mencari info ke
makhluk halus pun gak bakalan dapat, sebab syetannya pun lagi dikerangkeng”.
Adik kecil kita mengatakan, ”Mah, ade mau tarawih di masjid, biar pun tempatnya jauh dan gelap, ade gak takut sebab kata pa ustadz syetan lagi dirante, jadi gak berkeliaran”, tuturnya secara polos.
Tafsiran serupa itu tidak menjadi persoalan dan mungkin masih ada nilai
positifnya bagi masyarakat kita, khususnya dalam memberikan dorongan untuk
beribadah, baik di siang hari maupun malam hari. Dengan kata lain, tafsir sosial dari hadits
Rasulullah Muhammad Saw mengenai nasib
syetan di bulan suci Ramadhan ini memiliki nilai sugesti yang tinggi untuk
menumbuhkembangkan semangat ibadah dikalangan umat.
Namun demikian, bagi sebagian orang lagi, informasi dari hadits tersebut masih tetap menyimpan misteri kehidupan. Paling tidak dengan adanya hadist tersebut muncul sebuah pertanyaan, andai syetan dibelenggu mengapa masih ada manusia yang tidak mau berpuasa ? Mengapa masih ada orang yang melakukan tindakan perlawanan terhadap fitrah kemanusiaannya yaitu ajaran agama ? Inilah pokok persoalan kita saat ini.
Untuk sekedar contoh. Kita
bisa melihat, ada sebagian orang yang merasa tidak berdosa untuk berdagang dan melayani orang makan siang di
bulan suci Ramadhan. Mungkin benar, yang mereka lakukan adalah untuk menafkahi
keluarga dan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Namun mengapa mereka
lakukan dengan cara yang menyerempet pada pelanggaran aturan agama ?
Pada tahun-tahun sebelumnya, ada sekelompok pelaku penjual seks komersial, bar dan hiburan malam melakukan demonstrasi terhadap upaya penutupan tempat usaha. Bagi mereka penutupan tempat praktek tersebut, selain tidak memecahkan masalah sosial tersebut juga menyebabkan hilangnya mata pencaharian banyak orang. Argumentasi penduduk itu pun ada benarnya, karena mereka pun adalah bekerja untuk menafkahi keluarga dan mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya. Namun mengapa mereka lakukan dengan cara yang menyerempet pada pelanggaran aturan agama ?
Menjawab pertanyaan seperti ini tidak mudah. Membutuhkan analisa yang menyeluruh baik dari sisi agama,
sosial-budaya maupun ekonomi. Dalam kesempatan ini, kita tidak akan mengarah
pada analisa metafisika mengenai syetan atau aspek agama dan ekonomi. Analisa
ini lebih banyak menggunakan analisa psikologi atau sosiologi.
Untuk sekedar membantu menjelaskan pola pikiran wacana ini, kita bayangkan ada dua oknum (makhluk kembar) yaitu manusia dan syetan. Taruhlah kita sebut bahwa syetan itu adalah pelaku dan penyebab utama manusia berbuat salah. Dengan adanya syetan yang mendampingi tingkah laku manusia setiap saat bahkan mulai dari bangun tidur, makan pagi, berangkat kerja, dalam suasana kerja, pulang kerja, kumpul dengan keluarga, sampai terlelap tidur kembali, syetan tidak pernah luput menggangu dan mengajak manusia untuk berbuat salah.
Berdasarkan asumsi ini maka sangat wajar jika manusia memberikan argumentasi
bahwa tindakan salah itu adalah kealfaan dirinya yang suka mengikuti ajakan
syetan. Artinya hanya manusia yang memiliki kemampuan untuk memberikan
perlawanan terhadap ajakan syetan sajalah yang mampu terhindar dari perbuatan
keji dan munkar. Sementara mereka yang
memiliki benteng keyakinan, kemandirian sikap atau mental yang kuat akan
memiliki kemampuan untuk menjaga jarak dan menentukan sikap hidupnya sesuai
dengan fitrah kemanusiaannya sendiri.
Khusus terkait dengan bulan ramadhan, bagaimana analisa tersebut bisa digunakan ? akankah kita tetap mempertahankan argumentasi bahwa perilaku salah kita ini adalah akibat perbuatan syetan ?
Terdapat beberapa alternatif jawaban dalam mengomentari masalah ini. Namun
dalam wacana penulis hanya mengemukakan sebagian jawaban saja. Pertama, analisa mengenai perbuatan
manusia yang disandarkan pada struktur kepribadian manusia itu sendiri. Dengan
kata lain, munculnya sebuah tindakan bukan karena adanya faktor luar (semata)
tetapi merupakan aktualisasi dari dialektika antar struktur dalam kepribadian
manusia.
Dalam salah satu mazhab psikologi, salah satu struktur kepribadian manusia yaitu das es (the Id). Das es adalah sistem kepribadian yang berfungsi untuk menghindarkan diri dari ketidakenakan dan meraih kenikmatan. Dengan adanya das es inilah seseorang akan melakukan berbagai tindakan yang dirasakan dapat mengantarkannya pda kepuasan atau kenikmatan.
Merujuk pada das es ini, manusia kemudian mencari makanan untuk merasakan
kenikmatan biologisnya, mencari ruang teduh untuk menghindari terik matahari.
Namun demikian, bila struktur
kepribadian yang paling dasar (primer) ini berkembang bebas dalam tata
kehidupan sehari-hari, maka atas nama memenuhi kenikmatan atau keenakkan dapat
lahir sikap orang yang merasa enak/puas setelah korupsi, puas dan enak setelah
membunuh orang lain, enak dan puas setelah mengebom, enak dan puas setelah
menyiksa, enak dan puas setelah main judi, minum arak dan lain sebagainya.
Bila dikaitkan dengan kebutuhan dasar, tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah kebutuhan dasar yang tanpa kendali moral dan nilai. Dalam pengertian Freud struktur ego dan atau super egonya belum menunjukkan peran nyata dalam membangun kepribadian seseorang (character building). Dengan kata lain, bila kebutuhan ini tidak terkendali atau tidak ada penyeimbang maka sudah barang tentu dia akan menjadi pendorong untuk tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kefitrahan manusia. Oleh karena itu, dalam teori Freud ini dikenal ada ego dan super ego yang memiliki fungsi kontrol terhadap dorongan kebutuhan tersebut. Jelaslah sudah bagi kita bahwa tindakan salah yang kita lakukan saat ini padahal bulan ini adalah bulan ramadhan atau bahkan kita sedang berpuasa, maka mau tidak mau penyebab terjadinya perbuatan salah itu tidak bisa dialamatkan pada syetan melainkan pada struktur Id yang ada dalam diri kita sendiri.
Sampai pada argumentasi itu, kita teringat pada ungkapan favorit da’i kondang Zainuddin MZ yang masih
terngiang-ngiang dalam benak kita yakni kalimat ”hakikat puasa adalah
pengendalian diri”. Pernyataan ini memberikan penjelasan bahwa shaum adalah
sebuah proses penguatan terhadap unsur super ego, sehingga mampu meredam
gejolak id atau ego. Dengan pemahaman seperti ini, maka sangat jelas bahwa
puasa adalah sebuah medan perang besar (jihadul
akbar) dalam diri manusia, antara tarikan kesalehan dengan tarikan
kesalahan.
Kedua, dalam pandangan yang pesimistik, kasus masih munculnya perbuatan salah dalam diri padahal kita ada dalam bulan ramadhan dan bahkan sedang berpuasa yakni adanya hegemoni syetan dalam diri kita. Atau lebih jauhnya, syetan itu sendiri sudah menyejarah dalam struktur kepribadian kita sendiri. Sehingga perilaku kita dengan perilaku syetan sudah menyejarah atau membudaya.
Kembali ke ilustrasi awal, jika kita membayangkan ada dua oknum
(manusia–syetan) dan salah satu oknumnya sudah pergi (karena syetan
dibelenggu), tetapi ternyata kita masih juga berperilaku seperti oknum yang
sudah pergi tersebut berarti kita dengan oknum yang sudah pergi tersebut sudah ”menyatu” atau memiliki
perilaku yang sama. Dengan kata lain syetan sudah mampu menginternalisasikan
(menanamkan sikap dan nilai) budayanya kedalam kehidupan manusia. Hemat kata,
budaya syetan sudah membudaya dalam kehidupan manusia.
|
0 comments:
Posting Komentar