Besaran rupiah akan memiliki kewibawaan bila diiringi oleh nilai pengorbanan dalam mendapatkannya. Semakin besar pengorbanan mendapatkannya, semakin tinggilah nilai ekonomi dari rijki yang kita dapatkan. Sedangkan, rijki yang didapat tanpa pengorbanan, kurang menunjukkan kualitas dari si pemiliknya. Dibagian inilah, kewibawaan seseorang bisa dinilai dari kemampuan menghargai pengorbanan orang lain
Menjelang tahun ajaran baru, ke sekolah atau ke rumah, banyak yang berjualan buku. Buku elektronik sekolah atau BSE. Mereka berkeliling, dan mereka menawarkan barang dagangannya kepada orang yang ditemuinya di setiap langkah perjalanan. Seperti hari itu juga. Di hari itu juga. Hadirlah seorang pedagang keliling menawarkan buku BSE ke kompleks perumahan Budi.
“pak, buku BSE-nya, barangkali dibutuhkan untuk anak-anak ?” tawarnya, “ada
untuk SD, SMP atau SMA.....” tutur sang pedagang. Tawaran-tawaran itu, dia lakukan, kepada siapapun yang tampak hadir di rumah-rumah di sepanjang perjalanan, termasuk dihadapan rumah Hermawan, orangtua budi.
Ayah Budi, diam saja, bahkan cenderung mencuekkannya. Tetapi, sang pedagang atau penawar itu tetap setiap memberikan penawaran dengan berbagai penjelasan mengenai buku yang ditawarkannya tersebut. Sambil memperlihatkan buku-buku yang didagangkannya, dia berupaya meyakinkan sang bapak tersebut.
Ayah Budi sesekali meliriknya, kendati tetap sambil mengerjakan pekerjaan rumahnya di halaman rumah sendiri. Kebetulan, Budi keluar rumah. Melihat bapaknya, kurang respek terhadap si
pedagang itu, kemudian Budi menghadap sang pedagang itu. Budi adalah anak
Hermawan yang tertua. Usianya sekitar 14 tahun. Anak kelas 9 atau kelas 3 SMP.
“Pak, jualan apa ?” tanyanya.“Buku BSE dek...” kata pedagang, yang diperkirakan berusia 55 tahunan. Kulit yang tampak keriput menyelimuti tulang belulang yang diperkirakan sudah merapuh.“berapa harganya..?’ tanya budi lagi, sambil mengambil sejumlah lembaran uang yang ada di sakunya.“tiga puluh ribuan yang ini, kalau yang itu ada yang dua puluh ribuan...”katanya.
“beli dua ya, aku cuma punya uang segitu ......?” kata Budi.
“Mang, bisa kurang gak, masa buku segitu harganya mahal banget, di Bandung
mah banyak toko buku murah atuh..?” kata Pak budi dari kejauhan.
“aduh..ini juga udah murah mah, Pak..”kata si pedagang.
“Ya, ga apa-apa, udah pak, makasih ya..”ujar Budi sambil menyerahkan uang, dan menerima buku pesanannya tadi. Selepas saling menyampa dan ucap terima kasih. Mereka pun berpisah. Si pedagang buku pergi meninggalkan tempat Budi, dan melaju entah ke mana.
Hal yang tidak terduga, anak SMP yang masih muda belia itu, menghadap ke
orangtuanya. “mengapa Bapak, suka menawar-nawar begitu...?”
“Nak, kita ini orang gak punya, ya wajar, kalau nawar-nawar.....kita harus hemat..?” kata bapaknya.
“justru karena kita orang miskin, maka kita gak boleh nawar...” sergah
anaknya, “coba kalau kita menjadi mereka, terus setiap pembeli nawar seperti
yang Bapak lakukan, darimana rijki mereka untuk makan keluarga ?” tegasnya
lagi, “bapak tega, orang tua seperi itu, gak dapat rijki buat makan anak istrinya?”
“tapi, harga buku seperti itu terlalu mahal, nak?”
“kalau di toko buku yang ada di kota itu, murah dan banyak pembelinya. Mereka dapat untung banyak?’’, anaknya menjelaskan lagi, “kalau bapak yang tadi, siapa yang mau membelinya ? dia sudah kerja keras, mau berkeliling dan menawarkan buku tersebut. Walau sudah tua, tetap saja kerja keras untuk berjualan...mana penghormatan kita kepada mereka ?”
"hormatilah pengorbanan manusia, jangan sekedar melihat nominal uang, Pak?!" katanya, lagi. Mendengar penjelasan dan berondongan seperti itu, Ayahnya, kaget. Terkesima.
Dan langsung meneteskan air mata.
“Subhanallah. Aku yang sudah tua begini, tidak bisa berpikir seperti itu....” gumamnya dalam hati. “Ya, bagus anakku, kamu sudah berpikiran begitu, maafkan sikap ayah tadi, silahkan belajar dan bantu ibumu di dapur, bapak mau lanjutkan pekerjaan ini lagi,” ujar ayahnya.
Anaknya pun berlalu menuju ke dalam rumah !
0 comments:
Posting Komentar