Isu dihapuskan mata pelajaran Agama dalam kurikulum pendidikan, muncul lagi, dan menguat lagi. Isu ini, seakan tidak pernah habis, dan mungkin tidak akan pernah berhenti. Sepanjang, ada analisis yang memosisikan agama sebagai 'masalah' bagi masa depan bangsa dan negara ini. Salah satu yang sempat ramai dalam perbincangan netizen adalah ucapan dari Kepala BPIP, Yudian Wahyudi (2020).
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah diterima oleh mayoritas masyarakat, seperti tercermin dari dukungan dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah sejak era 1980-an. Tapi memasuki era reformasi asas-asas organisasi termasuk partai politik boleh memilih selain Pancasila, seperti Islam. Hal ini sebagai ekspresi pembalasan terhadap Orde Baru yang dianggap semena-mena.
"Dari situlah sebenarnya Pancasila sudah dibunuh secara administratif," kata Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Yudian Wahyudi kepada tim Blak-blakan detik.com. Pada berita selanjutnya, disampaikan "Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan," papar Yudian yang masih merangkap sebagai Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta.
Bila menelaah dalam kasus seperti ini, maka ada penalaran yang tidak setara, antara penyimpulan dengan referensi latar belakang pemikirannya. Artinya, (1) latar belakang pemikiran pembunuhan secara administrasi terhadap Pancasila itu, merujuk pada munculnya asas organisasi selain Pancasila, maka (2) musuh Pancasila itu, bukan hanya agama, tetapi juga sosialisme, kapitalisme dan juga komunisme, bahkan liberalisme. Mengapa demikian ? karena ideologi besar dunia itu, merongrong kesucian Pancasila, yang menjadi dasar ideologi bangsa dan negara.
Perbedaannya, organisasi politik mencantumkan secara administrasi, sedangkan politisi, penguasa atau pengusaha, melakukannya dengan pendekatan substansi. Bagi mereka, kadang tidak menyebutkan nama-ideologi, tetapi pengabaian terhadap nilai-nilai Pancasila sangat terasa dan kentara.
Apa soalan yang tampak dalam kasus ini ?
Satu diantara sekian masalah itu, yakni adanya keinginan untuk menghapus mata pelajaran agama dalam kurikulum pendidikan. Jika hal ini, tetap dikedepankan, secara tidak langsung, bahwa pembinaan sila pertama Pancasila, yakni nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, jelas tidak akan ada basis instrumentalinya kepada generasi muda. Nilai nilai dalam sila pertama ini, dimiliki oleh Agama, namun mata pelajarannya itu sendiri, tidak disuratkan dalam kurikulum pendidikan. Oleh karena itu, jelas hal ini, berbeda dan bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. bila tercium anti agama, maka ideologi bukan saja bertenangan dengan Pancasila (sila 1), namun lebih jauhnya ideologi lebih terimbuhi oleh nafas liberalisme atau malah sosialisme-komunisme.
Pada sisi lain, Soekarno sendiri memiliki keyakinan bahwa dasar pemikiran Pancasila itu, digali dari nilai dan budaya yang tumbuh dimasyarakat. Dengan kata lain, nilai sila pertama Pancasila, atau agama adalah nilai dan norma umum masyarakat Indonesia. Nilai ini tumbuhkembang secara kultural pada masyarakat Indonesia.
Berdasarkan pemikian ini, maka pendidikan Agama adalah muatan pembelajaran yang selaras dengan konteks nilai keruangan bangsa dan negara Indonesia. Agama adalah nilai-khas masyarakat Indonesia. Menghapus urgensi pendidikan Agama, sebangun dengan tidak mengakui keberadaan Agama di tengah masyarakat Indonesia.
Bagaimana menurut pembaca ?
0 comments:
Posting Komentar